Saturday, May 30, 2015

MAKALAH GOOD GOVERNANCE



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
            Istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara. Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi.
            Wacana tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan dalam makalah ini -- dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan -- baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan “good governance” dalam berbagai program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, terminologi “good governance” telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.
            Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Sejatinya, konsep governance harus dipahami sebagai suatu proses, bukan struktur atau institusi. Governance juga menunjukkan inklusivitas. Kalau government dilihat sebagai “mereka” maka governance adalah “kita”.
           
1.2    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Apa Pengertian Good Governance?
2.      Bagaimana Sejarah Good Governance?
3.      Bagaimana Teori dan Konsep Good Governance?

1.3    Tujuan Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Good Governance.
2.      Untuk Mengetahui Sejarah Good Governance.
3.      Untuk Mengetahui Teori dan Konsep Good Governance.

















BAB II
PEMBAHASAN


2.1    Pengertian Good Governance
A.    Didefinikan oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.
B.     Good Governance, adalah suatu proses pengambilan keputusan yg TAAT dengan aturan2 sehingga dalam proses pengambilan keputusan tersebut dapat dihindari adanya usaha untuk Korupsi,Korupsi, dan Nepotisme.

C.     Dari segi administrasi pembangunan, good governance didefinisikan sebagai berikut:
An overall institutional framework within wich its citizens are allowed to interact and transact freely, at difference levels, to fulfil its political, economic and social apirations. Basically, good governance has three aspect:
(i)                 The ability of citizens to express views and acces decision making freely;
(ii)               The capacity of the government agencies (both political and bureaucratic) to translate these views into realistic plans and to implement them cost effectively; and
(iii)             The ability of citizens and institutions to compare what has been asked for with what has been planned, and to compare what has been planned with what has been implemented”.

D.    Dari segi teori pembangunan, good governance diartikan sebagai berikut:
” …….. a plitical and bureaucratic framework wich provides an enabling macra-economic environment for investment and growth, which pursues distributional and equity related policies; which makes entrepreneurial interventions when and where required and which practices honest and afficient management principles. A commited and imaginative political leadership accompanied by an efficient and accountable bureaucracy does seem to be the key to the establishment of good governance in a country.”

E.     Good Governance  (Tata Kelola yang Baik) merupakan sekumpulan aturan yang menjelaskan hubungan antara seluruh pihak yang mempengaruhi suatu organisasi baik internal ataupun eksternal. Aturan ini menetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari pihak tersebut atau sistem yang mengarahkan dan mengawasi jalannya kegiatan organisasi untuk menciptakan nilai tambah bagi organisasi tersebut.  Ada empat unsur utama dan satu unsur tambahan dari Good Governance  yaitu Tranparansi, Integritas, Akuntabilitas, Tanggung jawab dan satu unsur tambahan yaitu Partisipasi yang kesemuanya
Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.
F.      Dalam kamus, istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.

G.    Definisi Good Governance menurut LAN dan BPKP
Penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society).
Governance dari sudut penyelenggara negara diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola urusan-urusan bangsa, mengelola mekanisme, proses, dan hubungan yang kompleks antarwarga negara dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya (yang menghendaki agar hak dan kewajibannya terlaksana) dan menengahi atau memfasilitasi perbedaan-perbedaan di antara mereka.

H.    Governance (Tata Pemerintahan) Hasil Kesepakatan Bersama antara Asosiasi DPRD Kabupaten/Kota Selu
Suatu mekanisme interkasi para pihak terkait yang berada di lembaga pemerintahan, legislatif dan masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok (perusahaan, asosiasi, LSM dan lain-lain) untuk bersama-sama merumuskan berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan manajemen pembangunan dalam suatu wilayah hukum atau administratif tertentu.

I.       Menurut Rizal Malik, Koordinator Pelaksana Partnership for Governance Reform on Indonesian,
Good Governance berasal dari kata governance yang berarti tata pemerintahan dan good governance ini telah dikenal sejak tahun 90-an. Governance adalah proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan pengambilan keputusan. Pelaksanaan proses ini, pada masa sekarang diperlukan transparansi, partisipasi, stakeholders, aturan main/penegakan hukum dalam pengambilan keputusan dan juga perlu accountability bagi mereka yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, agar pengambil keputusan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.

J.       UNDP mendefinisikan good governance sebagai “the exercise of political, economic and social resources for development of society“ penekanan utama dari definisi diatas adalah pada aspek ekonomi, politik dan administratif dalam pengelolaan negara.

2.2    Sejarah Good Governance
            Transformasi government sepanjang abad ke-20 pada awalnya ditandai dengan konsolidasi pemerintahan demokratis (democratic government) di dunia Barat. Tahap II berlangsung pada pasca Perang Dunia I, diindikasikan dengan semakin menguatnya peran pemerintah. Pemerintah mulai tampil dominan, yang melancarkan regulasi politik, redistribusi ekonomi dan kontrol yang kuat terhadap ruang-ruang politik dalam masyarakat. Peran negara pada tahap ini sangat dominan untuk membawa perubahan sosial dan pembangunan ekonomi. Tahap III, terjadi pada periodisasi  tahun 1960-an sampai 1970-an, yang menggeser perhatian ke pemerintah di negara-negara Dunia Ketiga. Periode tersebut merupakan perluasan proyek developmentalisme (modernisasi) yang dilakukan oleh dunia Barat di Dunia Ketiga, yang mulai melancarkan pendalaman kapitalisme. Pada periode tersebut,  pendalaman kapitalisme itu diikuti oleh kuatnya negara dan hadirnya rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika. Modernisasi mampu mendorong pembangunan ekonomi dan birokrasi yang semakin rasional, partisipasi politik semakin meningkat, serta demokrasi semakin tumbuh berkembang merupakan asumsi perspektif Barat yang dimanifestasikan dalam tahapan tersebut. Perspektif ini kemudian gugur, karena pembangunan ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin diikuti oleh meluasnya rezim otoritarian yang umumnya ditopang oleh aliansi antara militer, birokrasi sipil dan masyarakat bisnis internasional (Bourgon, 2011). Tahap IV, ditandai dengan krisis ekonomi dan finansial negara yang melanda dunia memasuki dekade 1980-an.  Krisis ekonomi juga dihadapi  Indonesia yang ditandai dengan anjloknya harga minyak tahun 1980-an. Krisis ekonomi pada periode 1980-an mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah.
            Pemerintah dimaknai bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar masalah krisis. Karena itu pada masa ini berkembang pesat “penyesuaian struktural”, yang lahir dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar. Berkembangnya isu-isu baru ini menandai kemenangan pandangan neoliberal yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal, dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta. Tahap V, adalah era 1990-an, dimana proyek demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-an) berkembang luas seantero jagad. Pada era ini muncul cara pandang baru terhadap pemerintahan, yang ditandai munculnya governance dan good governance. Perspektif yang berpusat pada government bergeser ke perspektif governance. Sejumlah lembaga donor seperti IMF dan World Bank dan para praktisi pembangunan internasional yang justru memulai mengembangkan gagasan governance dan juga good governance.
            Pada Good Governance telah dibedakan antara Government dengan Governance. Government lebih bersifat tertutup dan tidak sukarela, tidak bisa melibatkan Cso dan swasta / privat dalam membentuk struktur keorganisasiannya. Hal ini berbeda dengan sifat governance yang lebih terbuka dalam struktur keorganisasian dan bersifat sukarela. Governance melibatkan seluruh aktor baik publik maupun privat dalam membentuk struktur sehingga  bisa menempatkan pengarutan kebijakan sesuai kebutuhan fungsionalitasnya . Governance dilihat dari dimensi konvensi interaksi  memiliki ciri konsultasi yang sifatnya horizontal dengan pola hubungan yang kooperatif sehingga lebih banyak keterbukaan. Government justru sebaliknya, hierarki kewenangan yang telah menjadi mainset mengakibatkan pola hubungan banyak bersifat konflik dan penuh dengan kerahasiaan. Dilihat dari dimensi distribusi kekuasaan, Governance memiliki ciri dominasi negara sangat rendah, lebih mempertimbangkan kepentingan masyarakat (publicness) dalam pengaturan kebijakan dan adanya keseimbangan antaraktor. Dalam government justru dominasi negara sangat kuat dan tidak ada keseimbangan yang terjadi antaraktor (Kurniawan, 2007 : 15-16).
            Istilah governance sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120-an tahun, terutama oleh Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat ke 27. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengetian yang sempit. Wacana tentang  governance yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-pamong baru muncul sekitar 20-an tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional menetapkan “good governance” sebagai persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government) (Efendi, 2005).

2.3    Teori dan Konsep Good Governance
            Menurut Leach & Percy-Smith (2001) government mengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita” adalah penerima yang pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan “yang diperintah” karena kita semua adalah bagian dari proses governance. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yanag paling tepat menangkap makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.”
            Mudahnya, dapat kita bilang bahwa governance merupakah seluruh rangkaian proses pembuatan keputusan/kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Karenanya, analisis mengenai governance kemudian berfokus pada aktor-aktor dan struktur atau sistem, baik formal maupun informal, yang terlibat dalam proses pembuatan dan pengimplementasian sebuah keputusan. Pemerintah hanyalah salah satu aktor tersebut, sementara aktor-aktor lain diluar pemerintah dan militer biasa dikelompokkan sebagai bagian dari civil society. Demikian juga, struktur formal pengambilan keputusan yang dimiliki pemerintah (rapat kabinet, sidang paripurna, dialog dengan warga, dsb.) hanya merupakan salah satu struktur yang mempengaruhi pengambilan dan pengimplementasian keputusan, sementara diluarnya mungkin banyak terdapat struktur-struktur informal (adat istiadat, mafia, KKN, dsb.) yang dapat mempengaruhi pelaksanaan maupun individu-individu dalam struktur formal tadi.

            Good governance mensyaratkan 8 karakteristik umum/dasar, yaitu partisipasi, orientasi pada konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, ekuiti (persamaan derajat) dan inklusifitas, dan penegakan/supremasi hukum. Apabila diimplementasikan secara ideal, konsep ini diharapkan dapat memastikan pengurangan tingkat korupsi, pandangan kaum minoritas diperhitungkan dan suara dari mereka yang paling lemah dalam masyarakat didengar dalam proses pengambilan keputusan. Ia juga responsif terhadap masa kini dan kebutuhan masyarakat di masa depan. Ini konsep idealnya. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai masing-masing karakteristik :

1.      Participation
     Partisipasi oleh pria dan wanita adalah kunci good governance. Partisipasi dapat langsung maupun melalui institusi perwakilan yang legitimate. Partisipasi harus informatif dan terorganisir. Ini mensyaratkan adanya kebebasan berasosiasi dan berekspresi di satu sisi dan sebuah civil society yang kuat dan terorganisir di sisi lain.

2.      Rule of law
     Good governance memerlukan sebuah kerangka legal atau hukum dan peraturan yang ditegakkan secara komprehensif. Ia juga memerlukan perlindungan penuh terhadap HAM, terutama bagi kaum minoritas. Proses enforcement hukum yang imparsial membutuhkan lembaga peradilan yang independen dan kepolisian yang juga imparsial dan tidak korup.

3.      Transparency
     Transparansi mengandung arti bahwa pengambilan dan pengimplementasian keputusan dilakukan dalam tata cara yang mengukuti hukum dan peraturan. Ia juga berarti bahwa informasi tersedia secara bebas dan dapat diakses langsung oleh mereka yang akan dipengaruhi oleh keputusan tersebut. Informasi yang tersedia haruslah dalam bentuk dan media yang mudah dimengerti.

4.      Responsiveness
            Good governance memerlukan institusi dan proses didalamnya yang mencoba untuk melayani semua stakeholders dalam kerangka waktu tertentu yang sesuai.

5.      Consensus oriented
            Ada lebih dari satu aktor dan banyak sudut pandang dalam suatu komunitas. Good governance memerlukan mediasi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda di masyarakat dalam rangka mencapai sebuah konsensus umum dalam masyarakat yang merupakan kepentingan atau keputusan yang terbaik yang dapat dicapai untuk seluruh masyarakat. Ini memerlukan perspektif luas dan jangka panjang mengenai apa yang diperlukan untuk pengembangan manusia secara berkesinambungan. Ini hanya dapat dicapai melalui pemahaman yang baik atas konteks historis, kultural dan sosial di komunitas atau masyarakat tersebut.

6.      Equity and inclusiveness
            Keberadaan sebuah masyarakat bergantung pada proses memastikan bahwa seluruh anggotanya merasa bahwa mereka memiliki kepentingan didalamnya dan tidak merasa dikucilkan dari mainstream masyarakat tersebut. Ini memerlukan semua kelompok, terutama yang paling lemah, memiliki kesempatan untuk meningkatkan atau mempertahankan keberadaan mereka.

7.      Effectiveness and efficiency
            Good governance berarti bahwa output dari seluruh proses dan institusi tepat sasaran atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat disamping efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk melakukannya. Konsep efisiensi dalam konteks good governance juga mencakup penggunaan sumber daya alam dengan memperhatikan kesinambungan dan perlindungan lingkungan.

8.      Accountability
            Akuntabilitas adalah salah satu kebutuhan utama dalam good governance. Tidak hanya untuk institusi pemerintahan, melainkan juga sektor swasta dan organisasi-organisasi civil society harus bisa diakun oleh publik dan stakeholders-nya. Secara umum, sebuah organisasi atau institusi bertanggung jawab pada pihak-pihak yang dipengaruhi oleh tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan mereka. Akuntabilitas tidak mungkin ditegakkan tanpa adanya transparansi dan supremasi hukum.

            Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah harus terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat selain pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid (1997, 11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama.
            Seiring dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah tidak lagi dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai a governing process ditandai oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus yang berlangsung dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya disini. (ibid, 20) Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan seluruh elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak swasta. Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah, atau dengan kata lain terjadi desentralisasi dan otonomi daerah. 
            Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (local democrasi) di pemerintah daerah (Utomo, 2002). Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah.
            Otonomi Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia. Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspons dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal.
            Kebijakan desentralisasi yang tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 merupakan strategi baru yang membawa harapan dalam memasuki era reformasi, globalisasi serta perdagangan bebas. Hal-hal pokok yang menjiwai UU ini adalah demokratisasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat serta terpeliharanya nilai-nilai keanekaragaman daerah. Harapan tersebut muncul oleh karena kebijakan ini dipandang sebagai jalan baru untuk menciptakan suatu tatanan yang lebih baik dalam sebuah skema good governance dengan segala prinsip dasarnya.

            Melalui pemerintahan yang desentralistik, akan terbuka wadah demokrasi bagi masyarakat lokal untuk berperan serta dalam menentukan nasibnya, serta berorientasi kepada kepentingan rakyat melalui pemerintahan daerah yang terpercaya, terbuka dan jujur serta bersikap tidak mengelak tanggung jawab (passing the buck) sebagai prasyarat terwujudnya pemerintahan yang akuntabel dan mampu memenuhi asas-asas kepatutan dalam pemerintahan (good governance).
            Konsep good governance sendiri dalam beberapa tahun belakangan ini banyak dibicarakan dalam berbagai konteks dan menjadi issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan pemerintahan dan pelayanan kepada publik. Tuntutan ini sebagai akibat dari pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan dirasakan tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah atau dengan kata lain semakin tidak efektifnya pemerintahan disamping semakin berkembangnya kualitas demokrasi, hak asasi manusia dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Jadi ada tekanan untuk mendefinisikan ulang terhadap peran-peran pemerintahan dalam hubungannya dengan masyarakat dan sektor swasta.
            Sebagai suatu alternatif pengelolaan pemerintahan, konsep good governance berakar pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari bermacam-macam aktor kelembagaan di semua level/tingkat dalam negara, yakni pemerintah, swasta dan civil society dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Dalam konteks ini, United Nations Development Programme (LAN, 2000 ; 5) mengemukakan bahwa pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Pada tataran ini, perlu adanya keseimbangan hubungan yang sehat antara aktor (domain), sehingga tidak boleh ada aktor kelembagaan di dalam good governance yang mempunyai kontrol yang absolut.
   
            Melalui paradigma good governance sebagai alternatif penyelenggaraan pemerintahan, potensi masing-masing stakeholders dapat diaktualisasikan dalam mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, sehingga perlu dijamin perkembangan kreativitas dan aktivitas yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, demokratisasi serta kemandirian Daerah. Seiring dengan adanya keinginan untuk mewujudkan paradigma good governance tersebut, maka sistem penyelenggaraan pemerintah daerah di era otonomi saat ini, hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip  demokrasi dan pemberdayaan, pelayanan, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi, kemitraan, desentralisasi, konsistensi kebijaksanaan dan kepastian hukum.










BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
            Secara konseptual, seharusnya keberhasilan penerapan good governance di berbagai dunia itu diikuti dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat.  Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance dalam realitas deskiptif tidak sesuai dengan teori normatif . Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat.  Salah satu kegagalan Good governance adalah tidak memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan, yaitu aktor tersebut adalah dunia internasional.

3.2    Saran
            Good governance memiliki dampak terhadap kerdilnya struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar. Oleh karena itu, harus ada penyempurnaan dari paradigma Good governance, salah satunya yaitu konsep Sound Governance (SG) yang sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan.








DAFTAR PUSTAKA

Hetifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor     Indonesia, Jakarta, 2003.

http://2frameit.blogspot.com/2011/07/latar-belakang-konsep-good-governance.html

https://lawyersinbali.wordpress.com/2011/04/27/pengertian-good-governance/

http://perencanaankota.blogspot.com/2011/11/pengertian-tata-pemerintahan-yang-baik.html

http://indracuin.blogspot.com/2013/07/good-governance-asal-usul-perkembangan.html

No comments:

Post a Comment