BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Istilah “government”
dan “governance” seringkali dianggap
memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi,
lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan
kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.
Istilah “governance” sebenarnya sudah
dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik sejak Woodrow Wilson
memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi
selama itu governance hanya digunakan
dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi.
Wacana tentang “governance”
dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan dalam makalah ini -- dan yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan,
penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan -- baru muncul
sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan
internasional mempersyaratkan “good governance”
dalam berbagai program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi
administrasi negara Indonesia, terminologi “good
governance” telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang
amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan
pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan
secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.
Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas
politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep
“pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam
penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan
kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat. Sejatinya, konsep governance
harus dipahami sebagai suatu proses, bukan struktur atau institusi. Governance juga menunjukkan
inklusivitas. Kalau government dilihat sebagai “mereka” maka governance adalah “kita”.
1.2
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
1.
Apa Pengertian Good Governance?
2.
Bagaimana Sejarah Good Governance?
3.
Bagaimana Teori dan Konsep Good
Governance?
1.3
Tujuan
Penulisan
Adapun manfaat dari
penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk Mengetahui Pengertian Good
Governance.
2.
Untuk Mengetahui Sejarah Good Governance.
3.
Untuk Mengetahui Teori dan Konsep Good
Governance.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Good Governance
A. Didefinikan
oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance adalah suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang
sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah
alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun
administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and
political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Good
Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan
pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti
kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.
B. Good Governance,
adalah suatu proses pengambilan keputusan yg TAAT dengan aturan2 sehingga dalam
proses pengambilan keputusan tersebut dapat dihindari adanya usaha untuk
Korupsi,Korupsi, dan Nepotisme.
C. Dari
segi administrasi pembangunan, good
governance didefinisikan sebagai berikut:
An
overall institutional framework within wich its citizens are allowed to
interact and transact freely, at difference levels, to fulfil its political,
economic and social apirations. Basically, good governance has three aspect:
(i)
The
ability of citizens to express views and acces decision making freely;
(ii)
The
capacity of the government agencies (both political and bureaucratic) to
translate these views into realistic plans and to implement them cost
effectively; and
(iii)
The
ability of citizens and institutions to compare what has been asked for with
what has been planned, and to compare what has been planned with what has been
implemented”.
D. Dari
segi teori pembangunan, good governance
diartikan sebagai berikut:
”
…….. a plitical and bureaucratic
framework wich provides an enabling macra-economic environment for investment
and growth, which pursues distributional and equity related policies; which
makes entrepreneurial interventions when and where required and which practices
honest and afficient management principles. A commited and imaginative
political leadership accompanied by an efficient and accountable bureaucracy
does seem to be the key to the establishment of good governance in a country.”
E.
Good
Governance (Tata Kelola
yang Baik) merupakan sekumpulan aturan yang menjelaskan hubungan antara seluruh
pihak yang mempengaruhi suatu organisasi baik internal ataupun eksternal.
Aturan ini menetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari pihak tersebut
atau sistem yang mengarahkan dan mengawasi jalannya kegiatan organisasi untuk
menciptakan nilai tambah bagi organisasi tersebut. Ada empat unsur utama dan satu unsur tambahan
dari Good Governance yaitu Tranparansi, Integritas, Akuntabilitas,
Tanggung jawab dan satu unsur tambahan yaitu Partisipasi yang kesemuanya
Good Governance
sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara,
perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat
tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan
meniscayakan adanya civic culture
sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.
F.
Dalam kamus, istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara
menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government
atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.
G.
Definisi Good Governance menurut LAN dan BPKP
Penyelenggaraan
pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan
efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara
domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society).
Governance
dari sudut penyelenggara negara diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan
politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola urusan-urusan bangsa,
mengelola mekanisme, proses, dan hubungan yang kompleks antarwarga negara dan
kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya (yang menghendaki agar
hak dan kewajibannya terlaksana) dan menengahi atau memfasilitasi
perbedaan-perbedaan di antara mereka.
H.
Governance
(Tata Pemerintahan) Hasil Kesepakatan Bersama antara Asosiasi DPRD
Kabupaten/Kota Selu
Suatu
mekanisme interkasi para pihak terkait yang berada di lembaga pemerintahan,
legislatif dan masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok (perusahaan,
asosiasi, LSM dan lain-lain) untuk bersama-sama merumuskan berbagai kesepakatan
yang berkaitan dengan manajemen pembangunan dalam suatu wilayah hukum atau
administratif tertentu.
I.
Menurut Rizal Malik, Koordinator
Pelaksana Partnership for Governance
Reform on Indonesian,
Good Governance
berasal dari kata governance yang
berarti tata pemerintahan dan good
governance ini telah dikenal sejak tahun 90-an. Governance adalah proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan pengambilan keputusan. Pelaksanaan proses
ini, pada masa sekarang diperlukan transparansi, partisipasi, stakeholders,
aturan main/penegakan hukum dalam pengambilan keputusan dan juga perlu accountability bagi mereka yang terlibat
dalam proses pengambilan keputusan, agar pengambil keputusan bertanggung jawab
atas keputusan yang diambilnya.
J.
UNDP mendefinisikan good governance sebagai “the exercise
of political, economic and social
resources for development of society“ penekanan utama dari definisi diatas
adalah pada aspek ekonomi, politik dan administratif dalam pengelolaan negara.
2.2
Sejarah
Good Governance
Transformasi government
sepanjang abad ke-20 pada awalnya ditandai dengan konsolidasi pemerintahan
demokratis (democratic government) di dunia Barat. Tahap II berlangsung pada
pasca Perang Dunia I, diindikasikan dengan semakin menguatnya peran pemerintah.
Pemerintah mulai tampil dominan, yang melancarkan regulasi politik,
redistribusi ekonomi dan kontrol yang kuat terhadap ruang-ruang politik dalam
masyarakat. Peran negara pada tahap ini sangat dominan untuk membawa perubahan
sosial dan pembangunan ekonomi. Tahap III, terjadi pada periodisasi tahun 1960-an sampai 1970-an, yang menggeser
perhatian ke pemerintah di negara-negara Dunia Ketiga. Periode tersebut
merupakan perluasan proyek developmentalisme (modernisasi) yang dilakukan oleh
dunia Barat di Dunia Ketiga, yang mulai melancarkan pendalaman kapitalisme.
Pada periode tersebut, pendalaman
kapitalisme itu diikuti oleh kuatnya negara dan hadirnya rezim otoritarian di
kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika. Modernisasi mampu mendorong pembangunan
ekonomi dan birokrasi yang semakin rasional, partisipasi politik semakin
meningkat, serta demokrasi semakin tumbuh berkembang merupakan asumsi
perspektif Barat yang dimanifestasikan dalam tahapan tersebut. Perspektif ini
kemudian gugur, karena pembangunan ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin diikuti
oleh meluasnya rezim otoritarian yang umumnya ditopang oleh aliansi antara
militer, birokrasi sipil dan masyarakat bisnis internasional (Bourgon, 2011).
Tahap IV, ditandai dengan krisis ekonomi dan finansial negara yang melanda
dunia memasuki dekade 1980-an. Krisis
ekonomi juga dihadapi Indonesia yang
ditandai dengan anjloknya harga minyak tahun 1980-an. Krisis ekonomi pada
periode 1980-an mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah.
Pemerintah dimaknai bukan sebagai solusi terhadap problem
yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar masalah krisis. Karena itu pada
masa ini berkembang pesat “penyesuaian struktural”, yang lahir dalam bentuk
deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar.
Berkembangnya isu-isu baru ini menandai kemenangan pandangan neoliberal yang
sejak lama menghendaki peran negara secara minimal, dan sekaligus kemenangan
pasar dan swasta. Tahap V, adalah era 1990-an, dimana proyek demokratisasi
(yang sudah dimulai dekade 1980-an) berkembang luas seantero jagad. Pada era
ini muncul cara pandang baru terhadap pemerintahan, yang ditandai munculnya
governance dan good governance.
Perspektif yang berpusat pada government bergeser ke perspektif governance.
Sejumlah lembaga donor seperti IMF dan World Bank dan para praktisi pembangunan
internasional yang justru memulai mengembangkan gagasan governance dan juga good governance.
Pada Good
Governance telah dibedakan antara Government
dengan Governance. Government lebih bersifat tertutup dan
tidak sukarela, tidak bisa melibatkan Cso dan swasta / privat dalam membentuk
struktur keorganisasiannya. Hal ini berbeda dengan sifat governance yang lebih
terbuka dalam struktur keorganisasian dan bersifat sukarela. Governance melibatkan seluruh aktor baik
publik maupun privat dalam membentuk struktur sehingga bisa menempatkan pengarutan kebijakan sesuai
kebutuhan fungsionalitasnya . Governance
dilihat dari dimensi konvensi interaksi
memiliki ciri konsultasi yang sifatnya horizontal dengan pola hubungan
yang kooperatif sehingga lebih banyak keterbukaan. Government justru
sebaliknya, hierarki kewenangan yang telah menjadi mainset mengakibatkan pola
hubungan banyak bersifat konflik dan penuh dengan kerahasiaan. Dilihat dari
dimensi distribusi kekuasaan, Governance
memiliki ciri dominasi negara sangat rendah, lebih mempertimbangkan kepentingan
masyarakat (publicness) dalam
pengaturan kebijakan dan adanya keseimbangan antaraktor. Dalam government justru dominasi negara sangat
kuat dan tidak ada keseimbangan yang terjadi antaraktor (Kurniawan, 2007 :
15-16).
Istilah governance
sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir
120-an tahun, terutama oleh Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden
Amerika Serikat ke 27. Tetapi selama itu governance
hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengetian yang sempit. Wacana
tentang governance yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai
tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan,
tata-pamong baru muncul sekitar 20-an tahun belakangan, terutama setelah
berbagai lembaga pembiayaan internasional menetapkan “good governance” sebagai
persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka. Oleh para teoritisi dan
praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah,
misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo),
tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan
bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai
pemerintahan yang bersih (clean
government) (Efendi, 2005).
2.3
Teori
dan Konsep Good Governance
Menurut Leach & Percy-Smith (2001) government
mengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur,
melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita” adalah
penerima yang pasif. Sementara governance
meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan “yang diperintah” karena kita
semua adalah bagian dari proses governance.
Dengan kata lain, dalam konsep governance
terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan
kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yanag paling tepat
menangkap makna tersebut yakni “the
process whereby elements in society wield power and authority, and influence
and enact policies and decisions concerning public life, economic and social
development.”
Mudahnya, dapat kita bilang bahwa governance merupakah seluruh rangkaian proses pembuatan
keputusan/kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu
diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Karenanya, analisis mengenai
governance kemudian berfokus pada aktor-aktor dan struktur atau sistem, baik
formal maupun informal, yang terlibat dalam proses pembuatan dan
pengimplementasian sebuah keputusan. Pemerintah hanyalah salah satu aktor
tersebut, sementara aktor-aktor lain diluar pemerintah dan militer biasa
dikelompokkan sebagai bagian dari civil
society. Demikian juga, struktur formal pengambilan keputusan yang dimiliki
pemerintah (rapat kabinet, sidang paripurna, dialog dengan warga, dsb.) hanya
merupakan salah satu struktur yang mempengaruhi pengambilan dan
pengimplementasian keputusan, sementara diluarnya mungkin banyak terdapat
struktur-struktur informal (adat istiadat, mafia, KKN, dsb.) yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan maupun individu-individu dalam struktur formal tadi.
Good governance
mensyaratkan 8 karakteristik umum/dasar, yaitu partisipasi, orientasi pada
konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, ekuiti
(persamaan derajat) dan inklusifitas, dan penegakan/supremasi hukum. Apabila
diimplementasikan secara ideal, konsep ini diharapkan dapat memastikan
pengurangan tingkat korupsi, pandangan kaum minoritas diperhitungkan dan suara
dari mereka yang paling lemah dalam masyarakat didengar dalam proses
pengambilan keputusan. Ia juga responsif terhadap masa kini dan kebutuhan
masyarakat di masa depan. Ini konsep idealnya. Berikut adalah penjelasan
singkat mengenai masing-masing karakteristik :
1.
Participation
Partisipasi
oleh pria dan wanita adalah kunci good
governance. Partisipasi dapat langsung maupun melalui institusi perwakilan
yang legitimate. Partisipasi harus informatif dan terorganisir. Ini
mensyaratkan adanya kebebasan berasosiasi dan berekspresi di satu sisi dan
sebuah civil society yang kuat dan
terorganisir di sisi lain.
2.
Rule
of law
Good governance
memerlukan sebuah kerangka legal atau hukum dan peraturan yang ditegakkan
secara komprehensif. Ia juga memerlukan perlindungan penuh terhadap HAM,
terutama bagi kaum minoritas. Proses enforcement hukum yang imparsial
membutuhkan lembaga peradilan yang independen dan kepolisian yang juga
imparsial dan tidak korup.
3.
Transparency
Transparansi
mengandung arti bahwa pengambilan dan pengimplementasian keputusan dilakukan
dalam tata cara yang mengukuti hukum dan peraturan. Ia juga berarti bahwa
informasi tersedia secara bebas dan dapat diakses langsung oleh mereka yang
akan dipengaruhi oleh keputusan tersebut. Informasi yang tersedia haruslah
dalam bentuk dan media yang mudah dimengerti.
4.
Responsiveness
Good governance
memerlukan institusi dan proses didalamnya yang mencoba untuk melayani semua
stakeholders dalam kerangka waktu tertentu yang sesuai.
5. Consensus oriented
Ada lebih dari satu aktor dan banyak sudut pandang dalam
suatu komunitas. Good governance memerlukan mediasi dari
kepentingan-kepentingan yang berbeda di masyarakat dalam rangka mencapai sebuah
konsensus umum dalam masyarakat yang merupakan kepentingan atau keputusan yang
terbaik yang dapat dicapai untuk seluruh masyarakat. Ini memerlukan perspektif
luas dan jangka panjang mengenai apa yang diperlukan untuk pengembangan manusia
secara berkesinambungan. Ini hanya dapat dicapai melalui pemahaman yang baik
atas konteks historis, kultural dan sosial di komunitas atau masyarakat
tersebut.
6.
Equity
and inclusiveness
Keberadaan sebuah masyarakat bergantung pada proses
memastikan bahwa seluruh anggotanya merasa bahwa mereka memiliki kepentingan
didalamnya dan tidak merasa dikucilkan dari mainstream masyarakat tersebut. Ini
memerlukan semua kelompok, terutama yang paling lemah, memiliki kesempatan
untuk meningkatkan atau mempertahankan keberadaan mereka.
7.
Effectiveness
and efficiency
Good governance
berarti bahwa output dari seluruh proses dan institusi tepat sasaran atau
sesuai dengan kebutuhan masyarakat disamping efisien dalam pemanfaatan sumber
daya untuk melakukannya. Konsep efisiensi dalam konteks good governance juga
mencakup penggunaan sumber daya alam dengan memperhatikan kesinambungan dan
perlindungan lingkungan.
8.
Accountability
Akuntabilitas adalah salah satu kebutuhan utama dalam good governance. Tidak hanya untuk
institusi pemerintahan, melainkan juga sektor swasta dan organisasi-organisasi civil society harus bisa diakun oleh
publik dan stakeholders-nya. Secara umum, sebuah organisasi atau institusi
bertanggung jawab pada pihak-pihak yang dipengaruhi oleh tindakan-tindakan atau
keputusan-keputusan mereka. Akuntabilitas tidak mungkin ditegakkan tanpa adanya
transparansi dan supremasi hukum.
Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat
bahwa peranan pemerintah harus terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat selain pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan
modern menurut Rasyid (1997, 11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat,
dengan kata lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi
untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap
anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya
tujuan bersama.
Seiring dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan
pelayanan kepada masyarakat, pemerintah tidak lagi dapat mengklaim dirinya
sebagai satu-satunya sumber kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai
a governing process ditandai oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada
konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan
dijalankan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi
dan diskursus yang berlangsung dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat sebagai
sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya disini. (ibid,
20) Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya
keterlibatan seluruh elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak
swasta. Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala pemerintah didekatkan
dengan yang diperintah, atau dengan kata lain terjadi desentralisasi dan
otonomi daerah.
Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari
segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan
sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke
arah sistem pemerintahan yang desentralistik (local democrasi) di pemerintah daerah (Utomo, 2002). Pemerintahan
semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam wujud “Otonomi Daerah”
yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta,
prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan,
serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah.
Otonomi Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh
Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan
penerapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara
secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah
pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal
konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia. Kondisi
ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini
diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik
dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian
dari dinamika yang harus direspons dalam kerangka proses demokratisasi,
pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal.
Kebijakan desentralisasi yang tertuang dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 merupakan strategi baru yang membawa harapan dalam memasuki era
reformasi, globalisasi serta perdagangan bebas. Hal-hal pokok yang menjiwai UU
ini adalah demokratisasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat serta
terpeliharanya nilai-nilai keanekaragaman daerah. Harapan tersebut muncul oleh
karena kebijakan ini dipandang sebagai jalan baru untuk menciptakan suatu
tatanan yang lebih baik dalam sebuah skema good
governance dengan segala prinsip dasarnya.
Melalui pemerintahan yang desentralistik, akan terbuka
wadah demokrasi bagi masyarakat lokal untuk berperan serta dalam menentukan
nasibnya, serta berorientasi kepada kepentingan rakyat melalui pemerintahan
daerah yang terpercaya, terbuka dan jujur serta bersikap tidak mengelak
tanggung jawab (passing the buck) sebagai prasyarat terwujudnya pemerintahan
yang akuntabel dan mampu memenuhi asas-asas kepatutan dalam pemerintahan (good
governance).
Konsep good
governance sendiri dalam beberapa tahun belakangan ini banyak dibicarakan
dalam berbagai konteks dan menjadi issue yang paling mengemuka dalam
pengelolaan pemerintahan dan pelayanan kepada publik. Tuntutan ini sebagai
akibat dari pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan dirasakan tidak sesuai
lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah atau dengan kata lain semakin
tidak efektifnya pemerintahan disamping semakin berkembangnya kualitas
demokrasi, hak asasi manusia dan partisipasi publik dalam pengambilan
kebijakan. Jadi ada tekanan untuk mendefinisikan ulang terhadap peran-peran
pemerintahan dalam hubungannya dengan masyarakat dan sektor swasta.
Sebagai suatu alternatif pengelolaan pemerintahan, konsep
good governance berakar pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan
(interdependence) dan interaksi dari bermacam-macam aktor kelembagaan di semua
level/tingkat dalam negara, yakni pemerintah, swasta dan civil society dalam
menjalankan fungsinya masing-masing. Dalam konteks ini, United Nations
Development Programme (LAN, 2000 ; 5) mengemukakan bahwa pemerintah berfungsi
menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta
menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam
interaksi sosial, ekonomi dan politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam
masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik.
Pada tataran ini, perlu adanya keseimbangan hubungan yang sehat antara aktor
(domain), sehingga tidak boleh ada aktor kelembagaan di dalam good governance
yang mempunyai kontrol yang absolut.
Melalui paradigma good
governance sebagai alternatif penyelenggaraan pemerintahan, potensi
masing-masing stakeholders dapat diaktualisasikan dalam mengatasi berbagai
permasalahan dan kendala yang dihadapi Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah,
sehingga perlu dijamin perkembangan kreativitas dan aktivitas yang mengarah
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, demokratisasi serta kemandirian
Daerah. Seiring dengan adanya keinginan untuk mewujudkan paradigma good
governance tersebut, maka sistem penyelenggaraan pemerintah daerah di era
otonomi saat ini, hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan
pemberdayaan, pelayanan, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi,
kemitraan, desentralisasi, konsistensi kebijaksanaan dan kepastian hukum.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Secara konseptual, seharusnya keberhasilan penerapan good
governance di berbagai dunia itu diikuti dengan dampak kuatnya fundamental
ekonomi rakyat. Kenyataannya, relasi
antara kesejahteraan rakyat dengan good governance dalam realitas deskiptif
tidak sesuai dengan teori normatif . Makin merekatnya hubungan antara negara,
bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta menguatkan fundamental ekonomi
rakyat. Salah satu kegagalan Good
governance adalah tidak memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya.
Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi
antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan
rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan bahwa
aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak
dimasukkan dalam hitungan, yaitu aktor tersebut adalah dunia internasional.
3.2
Saran
Good governance memiliki dampak terhadap kerdilnya
struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar.
Oleh karena itu, harus ada penyempurnaan dari paradigma Good governance, salah
satunya yaitu konsep Sound Governance (SG) yang sekaligus membuka arah baru
bagi pembangunan global ke depan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hetifah Sj.
Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good
Governance, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2003.
http://2frameit.blogspot.com/2011/07/latar-belakang-konsep-good-governance.html
https://lawyersinbali.wordpress.com/2011/04/27/pengertian-good-governance/
http://perencanaankota.blogspot.com/2011/11/pengertian-tata-pemerintahan-yang-baik.html
http://indracuin.blogspot.com/2013/07/good-governance-asal-usul-perkembangan.html
No comments:
Post a Comment