BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Eksploitasi
sumberdaya alam dan lingkungan hidup telah menyebabkan semakin buruknya
kualitas lingkungan sumberdaya alam, khususnya dalam masalah pengawasan dan
pengembangan mekanisme hidup. Hal ini disebabkan tidak konsistennya pelaksanaan
manajemen lingkungan hidup dan dan kelembagaannya.
Dengan
memperhatikan permasalahan sumber daya alam dan lingkungan hidup dewasa ini,
pengelolaan di bidang pelestarian lingkungan hidup mempunyai beberapa ciri
khas, yaitu tingginya potensi konflik, tingginya potensi ketidaktentuan (uncertainty), kurun waktu yang sering
cukup panjang antara kegiatan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan, serta
pemahaman masalah yang tidak mudah bagi masyarakat luas. Karena ciri-ciri ini,
usaha pelestarian akan selalu merupakan suatu usaha yang dinamis baik dari segi
tantangan yang dihadapi maupun jalan keluarnya.
Sehubungan
dengan permasalahan tersebut, Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2002 antara lain
merekomendasikan untuk menerapkan prinsip-prinsip good environmental governance secara konsisten dengan menegakkan
prinsip-prinsip rule of law,
transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat. Dalam hubungan ini,
perlu diusahakan agar masyarakat secara umum sadar dan mempunyai informasi yang
cukup tentang masalah-masalah yang dihadapi, dan mempunyai keberdayaan dalam
berperan-serta pada proses pengambilan keputusan demi kepentingan orang banyak.
Sedangkan di sisi lainnya diharapkan pemerintah daerah diharapakan lebih
responsif terhadap kepentingan masyarakat dan lingkungannya, sehingga
perwujudan kepemerintahan yang baik menghendaki keterbukaan dan akuntabilitas
pemerintah.
Sejalan
dengan Otonomi Daerah, pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah di bidang
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan mengandung maksud untuk
meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta
masyarakat inilah yang dapat menjamin dinamisme dalam pengelolaan lingkungan
sehingga pengelolaan ini mampu menjawab tantangan tersebut diatas. Mekanisme
peran serta masyarakat perlu termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari
melalui mekanisme demokrasi. Jadi dapat dikatakan bahwa salah satu strategi
pengelolaan lingkungan yang efektif di daerah dalam kerangka otonomi daerah
adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan
pelestarian lingkungan.
1.2
Rumusan Masalah
1) Bagaimana
Kondisi Geografis Di Indonesia?
2) Apa
itu Lingkungan Pemerintahan?
3) Apa
saja yang termasuk dalam Permasalahan Lingkungan?
4)
Jelaskan Penataan Lingkungan Yang Salah yang
menjadi Penyebab Bencana Longsor di Banjar Negara!
1.3
Tujuan Penulisan
1) Untuk
Mengetahui Kondisi Geografis Di Indonesia
2) Untuk
Mengetahui Lingkungan Pemerintahan
3) Untuk
Mengetahui Permasalahan Lingkungan
4)
Untuk Mengetahui Penataan Lingkungan Yang
Salah Penyebab Bencana Longsor di Banjar Negara
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Kondisi
Geografis Di Indonesia
Kondisi
geografis negeri ini yang sangat rawan bencana sebetulnya telah menjadi
kesadaran umum terutama sejak bencana Tsunami Aceh. Hampir seluruh elemen
melakukan upaya-upaya menyikapi keadaan tersebut, baik dengan melakukan
kajian-kajian, melakukan pelatihan-pelatihan kebencanaan termasuk melakukan
upaya-upaya penanggulangan bencana oleh pemerintah maupun berbasis komunitas.
Walhasil, berbagai pelatihan di pelosok negeri termasuk simulasi dalam
menghadapi bencana dilakukan, terutama di daerah-daerah yang dianggap paling
rawan dengan bencana gempa-tsunami, salah satunya yang paling sering adalah
Provinsi Sumatera Barat. Pelatihan kesiapsiagaan bencana ini dilanjutkan sampai
pada tahap membangun kesiapsiagaan komunitas dengan membangun disaster alert
system yang berbasis budaya lokal. Lalu bermunculan berbagai hasil kajian
mengenai kerawanan bencana termasuk buku-buku penanganan bencana untuk pengurangan
resiko bencana.
Berkiblat
kepada kurangnya manajemen penanganan bencana terutama penanganan kondisi
darurat pada waktu bencana Tsunami Aceh, pemerintah terlihat serius menata
managemen penanganan bencana, bahkan saking seriusnya pada tahun 2007
pemerintah mengeluarkan regulasi yaitu UU no 24 tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana. Suatu tindakan yang patut diapresiasi terlebih hal
tersebut dilatabelakangi oleh kesadaran pemerintah bahwa wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis,
dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh
faktor alam, faktor non-alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional
(lihat konsideran UU tersebut).
Tentu
saja keadaan tersebut sangat mengembirakan, minimal sebagai pertanda bahwa
aparatur di negeri ini serius menyiapkan diri dalam menanggulangi dan menangani
bencana untuk mengurangi resiko bencana. Artinya aparat di negeri ini serius
belajar dari kesalahan dan ketidakcakapan menangani bencana yang selama ini
terjadi baik Tsunami Aceh, gempa di Jogjakarta, dimana hal yang selalu terjadi
dan sama adalah kelambanan pemerintah melakukan tindakan penanganan bencana
termasuk tindakan penanganan darurat.
Hanya
saja kegembiraan itu ternyata berlaku sesaat, kesalahan yang sama dalam
penanganan bencana terulang lagi. Setelah sekian kali menangani bencana alam
dalam skala kerusakan yang cukup besar, ternyata pemerintah tidak mampu
beranjak lebih maju dalam penanggulangan bencana. Dalam penanganan gempa di
Sumbar khusunya dalam penanganan darurat, muncul permasalahan yang tidak jauh
beda dengan penanganan bencana alam sebelumnya. Permasalahan yang paling
mencolok dan selalu terjadi adalah masalah pengelolaan bantuan utamanya
mengenai pendistribusian bantuan. Yang paling sering terjadi adalah korban yang
tidak kunjung mendapatkan bantuan sementara bantuan menumpuk di posko bencana.
Fakta
ini dapat dicermati dari beragam testimoni korban di media massa yang
mengungkapkan, betapa lambatnya pendistribusian bantuan tersebut. Mereka
menyatakan tidak mendapatkan bantuan makanan, minuman dan perlengkapan
mengungsi yang optimal. Walhasil, terjadi tindakan penjarahan sebagai bentuk
“protes” atas kelambanan distribusi bantuan. Tanpa menafikan kerja-kerja
penanganan darurat bencana yang dijalankan, dapat dipastikan bahwa “kericuhan”
tersebut berasal dari buruknya manajeman penanganan bencana. Dalam penanganan
darurat ini terkesan sangat tidak sistematis. Akibatnya adalah tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar dari korban bencana.
Bahkan
yang sangat menyesakkan, lambannya pendistribusian ini ternyata disebabkan oleh
birokrasi yang dibuat dalam sistem pendistribusiannya. Ketakutan tidak tepatnya
pemberian bantuan tersebut menjadi latar belakang adanya birokrasi yang dalam
pengambilan bantuan di posko logistik. Sekilas alasan itu sangat logis. Namun
bila dikaitan dengan kondisi yang ada, alasan itu menjadi tidak tepat.
Ketepatan sasaran dari pendistribusian bantuan ini adalah keniscayaan. Tetapi
untuk menjamin kepentingan tersebut, sepatutnya tidak dilakukan dengan pola
membangun birokrasi dadakan. Dalam situasi darurat, tentu saja birokrasi
dadakan ini akan menambah kacau situasi. Hasil akhirnya toh birokrasi tersebut
menghasilkan bantuan yang membusuk di posko-posko logistik, sementara korban
gempa tetap harus menerima nasib kekurangan kebutuhan dasar mereka.
Keadan
ini tentu saja tidak akan terjadi bila pemerintah secara serius menyiapkan diri
untuk menangani bencana. Dengan menyadari bahwa Indonesia rawan bencana
seharusnya tidak cukup dengan membuat Undang-Undang tentang Penanggulangan
Bencana namun gagap dalam implementasinya. Pemerintah seyogyanya melakukan
tindakan-tindakan yang lebih maju dalam penanganan bencana.
Untuk
itu perlu adanya perencanaan kontijensi yaitu suatu proses perencanaan ke depan
dalam keadaan ketidakpastian dimana skenario dan tujuan disepakati, tindakan
manajerial dan teknis sudah ditentukan, dan rancangan sistem tanggapan sudah
diatur pelaksanaannya, guna mencegah dan menanggapi keadaan darurat.
Perencanaan ini setidaknya dapat menyiapkan sebuah rencana respon yang cepat
dan tepat dalam situasi darurat bencana, sehingga tidak lagi terjadi
kebingungan dan kekacauan serta kebijakan-kebijakan yang dibuat mendadak.
Alih-alih meringankan korban, yang ada korban bencana tetap menderita dan
bantuan logistik membusuk di posko-posko logistik. Parahnya, kejadian ini
terjadi secara berulang dalam setiap penanganan bencana. Kalau keledai saja
tidak mau terjerumus ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya, lalu
haruskah bangsa ini selalu berkutat dengan kesalahan yang sama dalam penanganan
bencana.
2.2
Lingkungan
Pemerintahan
Dalam Ekologi Pemerintahan, ada dua
macam Ekosistem yaitu :
1) Ekosistem/lingkungan
Fisik
Lingkungan fisik ialah lingkungan
alam bersama tumbuhan dan hewan yang ada disuatu wilayah Negara, termasuk
manusia sebagai salah satu faktor yang selalu berproses dengan lingkungannya.
Lingkungan Fisik dapat digolongkan
kedalam 3 kelompok yaitu : kondisi geografis, keadaan penduduk, dan sumber daya
alam.
2) Ekosistem/lingkungan
social atau geografis
Lingkungan geografis dapat memberi
pengaruh terhadap kehidupan fisik dan kehidupan kejiwaan manusia.
2.3
Permasalahan
Lingkungan
a.
Masalah-masalah
Lingkungan Hidup
Dalam suatu lingkungan hidup yang baik,
terjalin suatu interaksi yang harmonis dan seimbang antar komponen-komponen
lingkungan hidup. Stabilitas keseimbangan dan keserasian interaksi antar
komponen lingkungan tersebut tergantung pada usaha manusia. Karena manusia
adalah komponen lingkungan hidup yang paling dominan dalam mempengaruhi
lingkungan. Sebaliknya lingkungan pun mempengaruhi manusia. Sehingga terdapat
hubungan yang saling pengaruh-mempengaruhi antara manusia dan lingkungan
hidupnya. Hal demikian, merupakan interaksi antara manusia dan lingkungan.
Keserasian dan keseimbangan tersebut
diatur dan berjalan proses ekosistem sebagaimana diuraikan terdahulu. Apabila
fungsi dalam mata rantai ekosistem tersebut terganggu dan gangguan itu
melampaui kemampuan ekosistem untuk memulihkan diri secara alami, maka akan
terjadilah masalah lingkungan hidup.
b.
Sumber
Permasalahan Lingkungan
Sesungguhnya sumber
yang menimbulkan permasalahan lingkungan, ialah ulah manusia yang dalam
aktivitasnya tidak mempedulikan keseimbangan dan keserasian lingkungan. Manusia
selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, dengan tidak
mempertimbangkan bahwa aktivitas yang berlebihan dalam mengeksploitasi guna
memenuhi kebutuhan dan keinginannya, akan melampaui kemampuan lingkungan dalam
mendukung perikehidupan. Aktivitas berupa eksploitasi yang berlebihan, itulah yang menyebabkan
terganggunya keseimbangan dan keserasian lingkungan. Tidak jarang terjadi
manusia yang melakukan over eksploitasi itu didorong oleh motivasi untuk
mencari keuntungan material.
c.
Masalah
lingkungan hidup di Indonesia
Bahaya alam: banjir,
kemarau panjang, tsunami, gempa bumi, gunung berapi, kebakaran hutan, gunung
lumpur, tanah longsor, limbah industri. Masalah
Lingkungan hidup di Indonesia saat ini: penebangan hutan secara liar/pembalakan
hutan; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerah
perkotaan asap dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak
dapat dipadamkan; perambahan suaka alam/suaka margasatwa; perburuan liar,
perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi; penghancuran terumbu
karang; pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan; semburan lumpur liar di
Sidoarjo, Jawa Timur; hujan asam yang merupakan akibat dari polusi udara.
2.4 Penataan Lingkungan Yang Salah
Penyebab Bencana Longsor di Banjar Negara
Negara Manusia sebagai factor lingkungan fisik (factor bilogis) harus
selalu melakukan proses penyesuaian dengan lingkungan sekitarnya. Manusia
sebagai factor bilogis berbeda dengan factor biologis lainnya (tumbuhan dan
hewan). Tumbuhan dan hewan dalam proses regenerasi, perkembangan, penyebaran
dan persaingan hidup diantara sesamanya lebih bersifat individual. Sedangkan
manusia dalam proses seperti itu selalu dalam hubungan yang bersifat kelompok.
Kepala Pusat Data dan Informasi
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan
beberapa penyebab terjadinya longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan
Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Sutopo mengatakan, pada dua hari
menjelang terjadinya longsor, yaitu pada tanggal 10-11 Desember, wilayah di
sekitar Dusun Jemblung, Banjarnegara, diguyur hujan yang cukup deras.
Akibatnya, tanah di lokasi tersebut menjadi penuh dengan air. Kemudian, menurut
Sutopo, materi penyusun bukit Telaga
Lele, di Dusun Jemblung, merupakan endapan vulkanik tua sehingga solum atau
lapisan tanah cukup tebal dan terjadi pelapukan.
Selain itu, kemiringan lereng di
bukit tersebut kurang dari 60 persen. Saat kejadian, mahkota longsor berada
pada kemiringan lereng 60-80 persen. Kemudian, Sutopo mengatakan, tanaman di
atas bukit tempat terjadinya longsor adalah tanaman semusim, dengan jenis
palawija, yang tidak rapat. Akibatnya, kondisi tanah menjadi longgar dan mudah
terbawa air.
Selain itu, Sutopo juga mengatakan,
penyebab longsor tidak lepas dari ulah manusia sendiri. "Budidaya
pertanian yang tidak mengindahkan konservasi juga jadi penyebab. Kondisi tanah
dan air di lokasi kejadian, di mana tidak ada terasering pada lereng
tersebut," kata Sutopo.
Longsor Banjarnegara terjadi pada
Jumat (12/12/2014) pukul 18.00 WIB. Data terbaru yang dikeluarkan BNPB, Senin,
pada pukul 13.00, melaporkan, sudah ada 51 korban jiwa yang ditemukan,
sedangkan 57 orang masih belum ditemukan. Semua warga yang berada di Dusun
Jemblung berjumlah 308 jiwa. Dari jumlah tersebut, 200 jiwa berhasil selamat,
tetapi 108 lainnya diperkirakan tertimbun longsor.
Jika ditelusuri ke tahun-tahun
sebelumnya, bencana longsor di Banjarnegara adalah bukan yang pertama kali
terjadi. Awal tahun 2006 silam, Kabupaten Banjarnegara juga mengalami bencana
tanah longsor dalam skala besar. Di kala itu, Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk
tertimbun bukit yang longsor dan mengakibatkan korban jiwa hingga 90 orang.
Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk,
Kecamatan Banjarmangu dilanda longsor pada 4 Januari 2006. Ratusan warga Dusun
Gunungraja, dari Desa Kendaga, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, pun
melakukan eksodus besar-besaran, dua hari setelah bencana, karena khawatir akan
terjadi longsor susulan.
Jarak Dusun Gunungraja, Desa Kendaga
ke Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk tak begitu jauh, hanya dipisahkan lahan persawahan
sepanjang 0,5 km. Kedua dusun itu berada 25 km di sebelah utara Kota
Banjarnegara pada ketinggian 729 meter di atas permukaan laut di lereng Bukit
Pawinihan. Adapun luas dua dusun tersebut kurang lebih 11 hektare. Warga Desa
Melikan pun mengungsi karena ketakutan yang sama.
Sebagian permukiman penduduk di
dusun-dusun itu sebenarnya juga rawan karena ada beberapa rumah yang posisinya
sejalur di bantaran sungai Kali Landa, jalur ke pusat longsor di Bukit
Pawinihan.
Setelah 2006, bencana ini terus berulang.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara, tanah
longsor pada tahun 2007 tercatat sebanyak 57 kali. Sementara tahun 2008, BPBD
Banjarnegara menginformasikan bencana longsor meningkat menjadi 76 kali. Pada
tahun 2009, bencana alam serupa meningkat lagi sebanyak 126 kali.
BPBD Banjarnegara mengungkapkan
pula, bencana longsor di kabupaten tersebut pada tahun 2010 meningkat tajam
sebanyak 200 kali. Sementara, data lain menyebutkan, sejak akhir tahun 2011
hingga Oktober 2012, terdapat kejadian tanah longsor sebanyak 379 kasus.
Sedangkan pada tahun 2013 dikabarkan terjadi longsor di 63 titik di Kabupaten
Banjarnegara.
Musibah longsor itu kini terjadi
lagi dan memakan korban dan kerusakan yang parah. Satu dusun di Dusun Jemblung,
Desa Sampang tertimpa longsor. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Banjarnegara menyebutkan, lebih dari 40 rumah tertimbun longsoran dari
perbukitan setinggi 80 meter dengan lebar mencapai 60 meter. Selain korban
tewas, longsor di Banjarnegara juga mengakibatkan 100-an orang hilang.
Seperti halnya musibah di tahun
2006, pengungsian besar-besaran ke kampung lain pun terjadi lagi. Data Basarnas
mencatat hingga 15 Desember, ada lebih dari 1740 orang yang mengungsi. Mereka
tersebar di berbagai titik. Jumlah pengungsi ini diperkirakan akan bertambah
karena masih banyak perkampungan yang berdekatan dengan Dusun Jemblung.
Sebelum menimpa Dusun Jemblung, Desa
Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, tanah longsor sudah menimpa
beberapa desa sekecamatan Banjarnegara. Bencana tanah longsor awal terjadi
hampir serentak di 67 titik, antara lain empat ruas jalan kabupaten sehingga
menutupi jalan desa lebih dari 20 titik, termasuk akses jalan
Banjarnegara-Karangkobar tertutup longsor. Saat itu, sudah ada korban meninggal
tertimbun longsor di Desa Sidengok, Kecamatan Pejawaran. Selain itu, 4 lokasi
dilaporkan terkena banjir luapan Sungai Serayu, dan di Dusun Pencil, Desa
Karangtengah, Kecamatan Wanayasa, tanah bergerak.
Data Mining & Media Analyst Company,
Awesometrics juga menangkap bahwa peristiwa bencana tanah longsor di
Banjarnegara, Semarang ini sudah muncul di media massa & media sosial sejak
sepekan lalu, 8 Desember 2014.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kejadian longsor tertinggi terjadi pada
bentuklahan dengan Tingkat bahaya sangat tinggi yakni sebanyak 13 kejadian, selanjutnya
pada tingkat bahaya tinggi sebanyak 8, tingkat bahaya sedang ada 4 kejadian,
dan tingkat bahaya longsor rendah ada 3 kejadian.
Rekomendasi penanganan daerah longsor
perlu memperhatikan proses-proses penyebab proses-proses penyebab longsoran. Beberapa
kasus longsoran yang terjadi di daerah penelitan terjadi di daerah yang telah
dikonservasi secara baik atas dasar pandangan pengendalian erosi tanah. Pemicu
pada longsoran pada lahan yang telah dikonservasi dengan baik salah satunya adalah
erosi parit pada saluran pembuang. Hal lain adalah penambahan beban massa
karena teras dapat juga berfungsi sebagai penampung air sehingga tanah dalam
keadaan jenuh. Tanah dan material tanah yang dalam kondisi jenuh air mempunyai berat
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah kering, oleh karena itu risiko
longsoran menjadi meningkat.
3.2 Saran
Penguatan sisi-sisi parit erosi agar
tidak longsor disarankan untuk daerahdaerah yang telah teridentifikasi
mempunyai tingkat erosi tanah lanjut. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi
tebing ambrol yang dapat menyumbat parit dan membendung aliran yang ada
padanya. Penguatan dasar parit erosi juga perlu dilakukan agar parit tidak
berkembang menjadi parit yang dalam. Pendalaman parit dapat dipandang sebagai
mempertajam lereng di sisi kanan kiri parit yang berarti menambah risiko
terjadi longsoran. Pemberian material kasar berupa batu-batu juga disarankan agar
aliran air di dalam parit dapat tetap mengalir tetapi tidak dengan kecepatan aliran
yang erosif. Metode ini sering dikenal dengan gully plug.
DAFTAR PUSTAKA
https://erloiansky.wordpress.com/2013/03/25/ekologi-pemerintahan/
http://kiswanmakalah.blogspot.com/
http://penulisituini.com/2014/12/16/longsor-di-banjarnegara-akibat-alam-yang-rusak-dan-terabaikan/
http://nasional.kompas.com/read/2014/12/15/16315561/Ini.Penyebab.Longsor.di.Banjarnegara.Menurut.BNPB
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/284/6.%20KUSWAJI.pdf?sequence=1
No comments:
Post a Comment