Saturday, May 30, 2015

MAKALAH EKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup telah menyebabkan semakin buruknya kualitas lingkungan sumberdaya alam, khususnya dalam masalah pengawasan dan pengembangan mekanisme hidup. Hal ini disebabkan tidak konsistennya pelaksanaan manajemen lingkungan hidup dan dan kelembagaannya.
            Dengan memperhatikan permasalahan sumber daya alam dan lingkungan hidup dewasa ini, pengelolaan di bidang pelestarian lingkungan hidup mempunyai beberapa ciri khas, yaitu tingginya potensi konflik, tingginya potensi ketidaktentuan (uncertainty), kurun waktu yang sering cukup panjang antara kegiatan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan, serta pemahaman masalah yang tidak mudah bagi masyarakat luas. Karena ciri-ciri ini, usaha pelestarian akan selalu merupakan suatu usaha yang dinamis baik dari segi tantangan yang dihadapi maupun jalan keluarnya.
            Sehubungan dengan permasalahan tersebut, Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2002 antara lain merekomendasikan untuk menerapkan prinsip-prinsip good environmental governance secara konsisten dengan menegakkan prinsip-prinsip rule of law, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat. Dalam hubungan ini, perlu diusahakan agar masyarakat secara umum sadar dan mempunyai informasi yang cukup tentang masalah-masalah yang dihadapi, dan mempunyai keberdayaan dalam berperan-serta pada proses pengambilan keputusan demi kepentingan orang banyak. Sedangkan di sisi lainnya diharapkan pemerintah daerah diharapakan lebih responsif terhadap kepentingan masyarakat dan lingkungannya, sehingga perwujudan kepemerintahan yang baik menghendaki keterbukaan dan akuntabilitas pemerintah.
            Sejalan dengan Otonomi Daerah, pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan mengandung maksud untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta masyarakat inilah yang dapat menjamin dinamisme dalam pengelolaan lingkungan sehingga pengelolaan ini mampu menjawab tantangan tersebut diatas. Mekanisme peran serta masyarakat perlu termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui mekanisme demokrasi. Jadi dapat dikatakan bahwa salah satu strategi pengelolaan lingkungan yang efektif di daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah
1)      Bagaimana Kondisi Geografis Di Indonesia?
2)      Apa itu Lingkungan Pemerintahan?
3)      Apa saja yang termasuk dalam Permasalahan Lingkungan?
4)      Jelaskan Penataan Lingkungan Yang Salah yang menjadi Penyebab Bencana Longsor di Banjar Negara!

1.3 Tujuan Penulisan
1)      Untuk Mengetahui Kondisi Geografis Di Indonesia
2)      Untuk Mengetahui Lingkungan Pemerintahan
3)      Untuk Mengetahui Permasalahan Lingkungan
4)      Untuk Mengetahui Penataan Lingkungan Yang Salah Penyebab Bencana Longsor di Banjar Negara









BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Kondisi Geografis Di Indonesia
            Kondisi geografis negeri ini yang sangat rawan bencana sebetulnya telah menjadi kesadaran umum terutama sejak bencana Tsunami Aceh. Hampir seluruh elemen melakukan upaya-upaya menyikapi keadaan tersebut, baik dengan melakukan kajian-kajian, melakukan pelatihan-pelatihan kebencanaan termasuk melakukan upaya-upaya penanggulangan bencana oleh pemerintah maupun berbasis komunitas. Walhasil, berbagai pelatihan di pelosok negeri termasuk simulasi dalam menghadapi bencana dilakukan, terutama di daerah-daerah yang dianggap paling rawan dengan bencana gempa-tsunami, salah satunya yang paling sering adalah Provinsi Sumatera Barat. Pelatihan kesiapsiagaan bencana ini dilanjutkan sampai pada tahap membangun kesiapsiagaan komunitas dengan membangun disaster alert system yang berbasis budaya lokal. Lalu bermunculan berbagai hasil kajian mengenai kerawanan bencana termasuk buku-buku penanganan bencana untuk pengurangan resiko bencana.
            Berkiblat kepada kurangnya manajemen penanganan bencana terutama penanganan kondisi darurat pada waktu bencana Tsunami Aceh, pemerintah terlihat serius menata managemen penanganan bencana, bahkan saking seriusnya pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan regulasi yaitu UU no 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Suatu tindakan yang patut diapresiasi terlebih hal tersebut dilatabelakangi oleh kesadaran pemerintah bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non-alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional (lihat konsideran UU tersebut).
            Tentu saja keadaan tersebut sangat mengembirakan, minimal sebagai pertanda bahwa aparatur di negeri ini serius menyiapkan diri dalam menanggulangi dan menangani bencana untuk mengurangi resiko bencana. Artinya aparat di negeri ini serius belajar dari kesalahan dan ketidakcakapan menangani bencana yang selama ini terjadi baik Tsunami Aceh, gempa di Jogjakarta, dimana hal yang selalu terjadi dan sama adalah kelambanan pemerintah melakukan tindakan penanganan bencana termasuk tindakan penanganan darurat.
            Hanya saja kegembiraan itu ternyata berlaku sesaat, kesalahan yang sama dalam penanganan bencana terulang lagi. Setelah sekian kali menangani bencana alam dalam skala kerusakan yang cukup besar, ternyata pemerintah tidak mampu beranjak lebih maju dalam penanggulangan bencana. Dalam penanganan gempa di Sumbar khusunya dalam penanganan darurat, muncul permasalahan yang tidak jauh beda dengan penanganan bencana alam sebelumnya. Permasalahan yang paling mencolok dan selalu terjadi adalah masalah pengelolaan bantuan utamanya mengenai pendistribusian bantuan. Yang paling sering terjadi adalah korban yang tidak kunjung mendapatkan bantuan sementara bantuan menumpuk di posko bencana.
            Fakta ini dapat dicermati dari beragam testimoni korban di media massa yang mengungkapkan, betapa lambatnya pendistribusian bantuan tersebut. Mereka menyatakan tidak mendapatkan bantuan makanan, minuman dan perlengkapan mengungsi yang optimal. Walhasil, terjadi tindakan penjarahan sebagai bentuk “protes” atas kelambanan distribusi bantuan. Tanpa menafikan kerja-kerja penanganan darurat bencana yang dijalankan, dapat dipastikan bahwa “kericuhan” tersebut berasal dari buruknya manajeman penanganan bencana. Dalam penanganan darurat ini terkesan sangat tidak sistematis. Akibatnya adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dari korban bencana.
            Bahkan yang sangat menyesakkan, lambannya pendistribusian ini ternyata disebabkan oleh birokrasi yang dibuat dalam sistem pendistribusiannya. Ketakutan tidak tepatnya pemberian bantuan tersebut menjadi latar belakang adanya birokrasi yang dalam pengambilan bantuan di posko logistik. Sekilas alasan itu sangat logis. Namun bila dikaitan dengan kondisi yang ada, alasan itu menjadi tidak tepat. Ketepatan sasaran dari pendistribusian bantuan ini adalah keniscayaan. Tetapi untuk menjamin kepentingan tersebut, sepatutnya tidak dilakukan dengan pola membangun birokrasi dadakan. Dalam situasi darurat, tentu saja birokrasi dadakan ini akan menambah kacau situasi. Hasil akhirnya toh birokrasi tersebut menghasilkan bantuan yang membusuk di posko-posko logistik, sementara korban gempa tetap harus menerima nasib kekurangan kebutuhan dasar mereka.
            Keadan ini tentu saja tidak akan terjadi bila pemerintah secara serius menyiapkan diri untuk menangani bencana. Dengan menyadari bahwa Indonesia rawan bencana seharusnya tidak cukup dengan membuat Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana namun gagap dalam implementasinya. Pemerintah seyogyanya melakukan tindakan-tindakan yang lebih maju dalam penanganan bencana.
            Untuk itu perlu adanya perencanaan kontijensi yaitu suatu proses perencanaan ke depan dalam keadaan ketidakpastian dimana skenario dan tujuan disepakati, tindakan manajerial dan teknis sudah ditentukan, dan rancangan sistem tanggapan sudah diatur pelaksanaannya, guna mencegah dan menanggapi keadaan darurat. Perencanaan ini setidaknya dapat menyiapkan sebuah rencana respon yang cepat dan tepat dalam situasi darurat bencana, sehingga tidak lagi terjadi kebingungan dan kekacauan serta kebijakan-kebijakan yang dibuat mendadak. Alih-alih meringankan korban, yang ada korban bencana tetap menderita dan bantuan logistik membusuk di posko-posko logistik. Parahnya, kejadian ini terjadi secara berulang dalam setiap penanganan bencana. Kalau keledai saja tidak mau terjerumus ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya, lalu haruskah bangsa ini selalu berkutat dengan kesalahan yang sama dalam penanganan bencana.

2.2    Lingkungan Pemerintahan
Dalam Ekologi Pemerintahan, ada dua macam Ekosistem yaitu :
1)      Ekosistem/lingkungan Fisik
Lingkungan fisik ialah lingkungan alam bersama tumbuhan dan hewan yang ada disuatu wilayah Negara, termasuk manusia sebagai salah satu faktor yang selalu berproses dengan lingkungannya.
Lingkungan Fisik dapat digolongkan kedalam 3 kelompok yaitu : kondisi geografis, keadaan penduduk, dan sumber daya alam.
2)      Ekosistem/lingkungan social atau geografis
Lingkungan geografis dapat memberi pengaruh terhadap kehidupan fisik dan kehidupan kejiwaan manusia.

2.3    Permasalahan Lingkungan
a.      Masalah-masalah Lingkungan Hidup
       Dalam suatu lingkungan hidup yang baik, terjalin suatu interaksi yang harmonis dan seimbang antar komponen-komponen lingkungan hidup. Stabilitas keseimbangan dan keserasian interaksi antar komponen lingkungan tersebut tergantung pada usaha manusia. Karena manusia adalah komponen lingkungan hidup yang paling dominan dalam mempengaruhi lingkungan. Sebaliknya lingkungan pun mempengaruhi manusia. Sehingga terdapat hubungan yang saling pengaruh-mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidupnya. Hal demikian, merupakan interaksi antara manusia dan lingkungan.
       Keserasian dan keseimbangan tersebut diatur dan berjalan proses ekosistem sebagaimana diuraikan terdahulu. Apabila fungsi dalam mata rantai ekosistem tersebut terganggu dan gangguan itu melampaui kemampuan ekosistem untuk memulihkan diri secara alami, maka akan terjadilah masalah lingkungan hidup.

b.      Sumber Permasalahan Lingkungan
       Sesungguhnya sumber yang menimbulkan permasalahan lingkungan, ialah ulah manusia yang dalam aktivitasnya tidak mempedulikan keseimbangan dan keserasian lingkungan. Manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, dengan tidak mempertimbangkan bahwa aktivitas yang berlebihan dalam mengeksploitasi guna memenuhi kebutuhan dan keinginannya, akan melampaui kemampuan lingkungan dalam mendukung perikehidupan. Aktivitas berupa eksploitasi  yang berlebihan, itulah yang menyebabkan terganggunya keseimbangan dan keserasian lingkungan. Tidak jarang terjadi manusia yang melakukan over eksploitasi itu didorong oleh motivasi untuk mencari keuntungan material.

c.       Masalah lingkungan hidup di Indonesia
       Bahaya alam: banjir, kemarau panjang, tsunami, gempa bumi, gunung berapi, kebakaran hutan, gunung lumpur, tanah longsor, limbah industri. Masalah Lingkungan hidup di Indonesia saat ini: penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerah perkotaan asap dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak dapat dipadamkan; perambahan suaka alam/suaka margasatwa; perburuan liar, perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi; penghancuran terumbu karang; pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan; semburan lumpur liar di Sidoarjo, Jawa Timur; hujan asam yang merupakan akibat dari polusi udara.

2.4    Penataan Lingkungan Yang Salah Penyebab Bencana Longsor di Banjar Negara
            Negara Manusia sebagai factor lingkungan fisik (factor bilogis) harus selalu melakukan proses penyesuaian dengan lingkungan sekitarnya. Manusia sebagai factor bilogis berbeda dengan factor biologis lainnya (tumbuhan dan hewan). Tumbuhan dan hewan dalam proses regenerasi, perkembangan, penyebaran dan persaingan hidup diantara sesamanya lebih bersifat individual. Sedangkan manusia dalam proses seperti itu selalu dalam hubungan yang bersifat kelompok.
            Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan beberapa penyebab terjadinya longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
            Sutopo mengatakan, pada dua hari menjelang terjadinya longsor, yaitu pada tanggal 10-11 Desember, wilayah di sekitar Dusun Jemblung, Banjarnegara, diguyur hujan yang cukup deras. Akibatnya, tanah di lokasi tersebut menjadi penuh dengan air. Kemudian, menurut Sutopo,  materi penyusun bukit Telaga Lele, di Dusun Jemblung, merupakan endapan vulkanik tua sehingga solum atau lapisan tanah cukup tebal dan terjadi pelapukan.
            Selain itu, kemiringan lereng di bukit tersebut kurang dari 60 persen. Saat kejadian, mahkota longsor berada pada kemiringan lereng 60-80 persen. Kemudian, Sutopo mengatakan, tanaman di atas bukit tempat terjadinya longsor adalah tanaman semusim, dengan jenis palawija, yang tidak rapat. Akibatnya, kondisi tanah menjadi longgar dan mudah terbawa air.
            Selain itu, Sutopo juga mengatakan, penyebab longsor tidak lepas dari ulah manusia sendiri. "Budidaya pertanian yang tidak mengindahkan konservasi juga jadi penyebab. Kondisi tanah dan air di lokasi kejadian, di mana tidak ada terasering pada lereng tersebut," kata Sutopo.

            Longsor Banjarnegara terjadi pada Jumat (12/12/2014) pukul 18.00 WIB. Data terbaru yang dikeluarkan BNPB, Senin, pada pukul 13.00, melaporkan, sudah ada 51 korban jiwa yang ditemukan, sedangkan 57 orang masih belum ditemukan. Semua warga yang berada di Dusun Jemblung berjumlah 308 jiwa. Dari jumlah tersebut, 200 jiwa berhasil selamat, tetapi 108 lainnya diperkirakan tertimbun longsor.
            Jika ditelusuri ke tahun-tahun sebelumnya, bencana longsor di Banjarnegara adalah bukan yang pertama kali terjadi. Awal tahun 2006 silam, Kabupaten Banjarnegara juga mengalami bencana tanah longsor dalam skala besar. Di kala itu, Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk tertimbun bukit yang longsor dan mengakibatkan korban jiwa hingga 90 orang.
            Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu dilanda longsor pada 4 Januari 2006. Ratusan warga Dusun Gunungraja, dari Desa Kendaga, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, pun melakukan eksodus besar-besaran, dua hari setelah bencana, karena khawatir akan terjadi longsor susulan.
            Jarak Dusun Gunungraja, Desa Kendaga ke Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk tak begitu jauh, hanya dipisahkan lahan persawahan sepanjang 0,5 km. Kedua dusun itu berada 25 km di sebelah utara Kota Banjarnegara pada ketinggian 729 meter di atas permukaan laut di lereng Bukit Pawinihan. Adapun luas dua dusun tersebut kurang lebih 11 hektare. Warga Desa Melikan pun mengungsi karena ketakutan yang sama.
            Sebagian permukiman penduduk di dusun-dusun itu sebenarnya juga rawan karena ada beberapa rumah yang posisinya sejalur di bantaran sungai Kali Landa, jalur ke pusat longsor di Bukit Pawinihan.
            Setelah 2006, bencana ini terus berulang. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara, tanah longsor pada tahun 2007 tercatat sebanyak 57 kali. Sementara tahun 2008, BPBD Banjarnegara menginformasikan bencana longsor meningkat menjadi 76 kali. Pada tahun 2009, bencana alam serupa meningkat lagi sebanyak 126 kali.
            BPBD Banjarnegara mengungkapkan pula, bencana longsor di kabupaten tersebut pada tahun 2010 meningkat tajam sebanyak 200 kali. Sementara, data lain menyebutkan, sejak akhir tahun 2011 hingga Oktober 2012, terdapat kejadian tanah longsor sebanyak 379 kasus. Sedangkan pada tahun 2013 dikabarkan terjadi longsor di 63 titik di Kabupaten Banjarnegara.
            Musibah longsor itu kini terjadi lagi dan memakan korban dan kerusakan yang parah. Satu dusun di Dusun Jemblung, Desa Sampang tertimpa longsor. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara menyebutkan, lebih dari 40 rumah tertimbun longsoran dari perbukitan setinggi 80 meter dengan lebar mencapai 60 meter. Selain korban tewas, longsor di Banjarnegara juga mengakibatkan 100-an orang hilang.
            Seperti halnya musibah di tahun 2006, pengungsian besar-besaran ke kampung lain pun terjadi lagi. Data Basarnas mencatat hingga 15 Desember, ada lebih dari 1740 orang yang mengungsi. Mereka tersebar di berbagai titik. Jumlah pengungsi ini diperkirakan akan bertambah karena masih banyak perkampungan yang berdekatan dengan Dusun Jemblung.
            Sebelum menimpa Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, tanah longsor sudah menimpa beberapa desa sekecamatan Banjarnegara. Bencana tanah longsor awal terjadi hampir serentak di 67 titik, antara lain empat ruas jalan kabupaten sehingga menutupi jalan desa lebih dari 20 titik, termasuk akses jalan Banjarnegara-Karangkobar tertutup longsor. Saat itu, sudah ada korban meninggal tertimbun longsor di Desa Sidengok, Kecamatan Pejawaran. Selain itu, 4 lokasi dilaporkan terkena banjir luapan Sungai Serayu, dan di Dusun Pencil, Desa Karangtengah, Kecamatan Wanayasa, tanah bergerak.
            Data Mining & Media Analyst Company, Awesometrics juga menangkap bahwa peristiwa bencana tanah longsor di Banjarnegara, Semarang ini sudah muncul di media massa & media sosial sejak sepekan lalu, 8 Desember 2014.











BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Kejadian longsor tertinggi terjadi pada bentuklahan dengan Tingkat bahaya sangat tinggi yakni sebanyak 13 kejadian, selanjutnya pada tingkat bahaya tinggi sebanyak 8, tingkat bahaya sedang ada 4 kejadian, dan tingkat bahaya longsor rendah ada 3 kejadian.
            Rekomendasi penanganan daerah longsor perlu memperhatikan proses-proses penyebab proses-proses penyebab longsoran. Beberapa kasus longsoran yang terjadi di daerah penelitan terjadi di daerah yang telah dikonservasi secara baik atas dasar pandangan pengendalian erosi tanah. Pemicu pada longsoran pada lahan yang telah dikonservasi dengan baik salah satunya adalah erosi parit pada saluran pembuang. Hal lain adalah penambahan beban massa karena teras dapat juga berfungsi sebagai penampung air sehingga tanah dalam keadaan jenuh. Tanah dan material tanah yang dalam kondisi jenuh air mempunyai berat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah kering, oleh karena itu risiko longsoran menjadi meningkat.

3.2 Saran
            Penguatan sisi-sisi parit erosi agar tidak longsor disarankan untuk daerahdaerah yang telah teridentifikasi mempunyai tingkat erosi tanah lanjut. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi tebing ambrol yang dapat menyumbat parit dan membendung aliran yang ada padanya. Penguatan dasar parit erosi juga perlu dilakukan agar parit tidak berkembang menjadi parit yang dalam. Pendalaman parit dapat dipandang sebagai mempertajam lereng di sisi kanan kiri parit yang berarti menambah risiko terjadi longsoran. Pemberian material kasar berupa batu-batu juga disarankan agar aliran air di dalam parit dapat tetap mengalir tetapi tidak dengan kecepatan aliran yang erosif. Metode ini sering dikenal dengan gully plug.

DAFTAR PUSTAKA

https://erloiansky.wordpress.com/2013/03/25/ekologi-pemerintahan/
http://kiswanmakalah.blogspot.com/
http://penulisituini.com/2014/12/16/longsor-di-banjarnegara-akibat-alam-yang-rusak-dan-terabaikan/
http://nasional.kompas.com/read/2014/12/15/16315561/Ini.Penyebab.Longsor.di.Banjarnegara.Menurut.BNPB
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/284/6.%20KUSWAJI.pdf?sequence=1

No comments:

Post a Comment