Friday, January 30, 2015

MAKALAH BIOETIKA ATAU BIOMEDIS

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Kemajuan teknologi yang semakin pesat membuat akses informasi yang beredar seolah tak terbendung. Masyarakat semakin cerdas dalam menentukan pilihan, yang salah satunya adalah pilihan dalam urusan kesehatan. Dengan akses informasi yang tak terbatas inilah, masyarakat semakin diperdalam pengetahuannya dalam bidang kesehatan, terutama mengenai hak hak yang wajib mereka dapat dan bahkan mengenai penyakit yang mereka derita.
Seorang dokter yang baik tentu harus memperhatikan hal tersebut, agar bisa mengimbangi pasien yang datang untuk berobat padanya. Penerapan kaidah bioetik merupakan sebuah keharusan bagi seorang dokter yang berkecimpung didalam dunia medis, karena kaidah bioetik adalah sebuah panduan dasar dan standar, tentang bagaimana seorang dokter harus bersikap atau bertindak terhadap suatu persoalan atau kasus yang dihadapi oleh pasiennya.
Kaidah bioetik harus dipegang tegush oleh seorang dokter dalam proses pengobatan pasien, sampai pada tahap pasien tersebut tidak mempunyai ikatan lagi dengan dokter yang bersangkutan.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Bioetika?
2.      Darimana Asal Kata Bioetika?
3.      Apa Tujuan Bioetika?
4.      Jelaskan Tantangan Masyarakat Masyarakat Terhadap Permasalahan Bioetika?
5.      Apa Masalah-masalah yang timbul dalam Bioetika?


C.      Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian Bioetika.
2.      Mengetahui Asal Kata Bioetika.
3.      Mengetahui Tujuan Bioetika.
4.      Mengetahui Tantangan Masyarakat Masyarakat Terhadap Permasalahan Bioetika.
5.      Mengetahui Masalah-masalah yang timbul dalam Bioetika.





















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Bioetika
Perkembangan yang begitu pesat di bidang biologi dan ilmu kedokteran membuat etika kedokteran tidak mampu lagi menampung keseluruhan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan. Etika kedokteran berbicara tentang bidang medis dan profesi kedokteran saja, terutama hubungan dokter dengan pasien, keluarga, masyarakat, dan teman sejawat. Oleh karena itu, sejak tiga dekade terakhir ini telah dikembangkan bioetika atau  yang disebut jugadengan etika biomedis.
Menurut F. Abel, Bioetika adalah studi interdisipliner tentang masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan kedokteran, tidak hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi juga memperhitungkan timbulnya masalah pada masa yang akan datang.
Bioetika berasal dari kata bios yang berati kehidupan dan ethos yang berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika merupakan studi interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa mendatang. Bioetika mencakup isu-isu sosial, agama, ekonomi, dan hukum bahkan politik. Bioetika selain membicarakan bidang medis, seperti abortus, euthanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi butan, dan rekayasa genetik, membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan tradisional, lingkungan kerja, demografi, dan sebagainya. Bioetika memberi perhatian yang besar pula terhadap penelitian kesehatan pada manusia dan hewan percobaan.
Masalah bioetika mulai diteliti pertama kali oleh Institude for the Study of Society, Ethics and Life Sciences, Hasting Center, New York pada tahun 1969. Kini terdapat berbagai isu etika biomedik.
Di Indonesia, bioetika baru berkembang sekitar satu dekade terakhir yang dipelopori oleh Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya Jakarta. Perkembangan ini sangat menonjol setelah universitas Gajah Mada Yogyakarta yang melaksanakan pertemuan Bioethics 2000; An International Exchange dan Pertemuan Nasional I Bioetika dan Humaniora pada bulan Agustus 2000. Pada waktu itu, Universitas Gajah Mada juga mendirikan center for Bioethics and Medical humanities. Dengan terselenggaranya Pertemuan Nasional II Bioetika dan Humaniora pada tahun 2002 di Bandung, Pertemuan III pada tahun 2004 di Jakarta, dan Pertemuan IV tahun 2006 di Surabaya serta telah terbentuknya Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia (JBHKI) tahun 2002, diharapkan studi bioetika akan lebih berkembang dan tersebar luas di seluruh Indonesia pada masa datang.
Humaniora merupakan pemikiran yang beraitan dengan martabat dan kodrat manusia, seperti yang terdapat dalam sejarah, filsafat, etika, agama, bahasa, dan sastra.

B.       Asal Kata Bioetika
Sepanjang perjalanan sejarah dunia Kedokteran, banyak defenisi dan paham mengenai bioetika yang dilontarkan oleh para ahli etika dari berbagai belahan dunia. Pendapat pendapat ini dibuat untuk merumuskan suatu pemahaman bersama tentang apa itu bioetika.
Bioetika berasal dari kata bios yang berati kehidupan dan ethos yang berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika merupakan studi interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa mendatang. Bioetika mencakup isu-isu sosial, agama, ekonomi, dan hukum bahkan politik. Bioetika selain membicarakan bidang medis, seperti abortus, euthanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi butan, dan rekayasa genetik, membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan tradisional, lingkungan kerja, demografi, dan sebagainya. Bioetika memberi perhatian yang besar pula terhadap penelitian kesehatan pada manusia dan hewan percobaan.
Menurut F. Abel, Bioetika adalah studi interdisipliner tentang masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan kedokteran, tidak hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi juga memperhitungkan timbulnya masalah pada masa yang akan datang.

C.      Tujuan Bioetika
a.        Bioetika sangat diperlukan sebagai pengawal riset biologi dan bioteknologi modern.
b.       Pembelajaran bioetika diarahkan untuk mencegah dampak negatif yang muncul dari teknologi.
c.        Pembelajaran bioetika menunjukkan pada mahasiswa untuk menjadi ilmuwan yang memiliki tanggung jawab sosial.
d.       Pembelajaran bioetika dibutuhkan karena menekankan pada pengembangan berpikir kritis untuk menentukan sisi baik dan buruk atau dimensi etis dari biologi modern dan teknologi yang terkait dengan kehidupan.
e.        Pembelajaran bioetika dapat melatih mahasiswa menjadi ilmuwan biologi yang dapat mempertimbangkan tindakan-tindakan yang akan dilakukan sebagaimana pengembangan pola berpikir yang dikemukakan Rasulullah SAW yaitu pola berpikir menggunakan akal.

D.      Tantangan Masyarakat Masyarakat Terhadap Permasalahan Bioetika
1.      Lingkungan
Biologi adalah ilmu pengetahuan yang paling lekat dengan manusia dalam alam lingkungan kehidupannya. Pada akhir decade 1990-an Olson mengangkat topik-topik genetika, keragaman hayati, ilmu syaraf (neuroscience), evolusi serta moral dan etika dalam bahasannya mengenai masa depan perkembangan ilmu hayati dan sekaligus merupakan strategi masa depan bagi pengembangannya.
Objek kajian hayati/biologis meliputi klasifikasi dan sistematik, morfologi atau struktur, fisiologi atau operasional hidup, anatomi dan sitologi atau struktur mikroskopik, proses yang khas seperti pertumbuhan dan aspek metabolisme serta kajian aspek aplikasi hayati/biologi seperti rekayasa genetika, transgenik/cloning, kultur jaringan, breeding, hibridisasi dan rekayasa hayati lainnya.
Pengaplikasian mengenai bioetika sudah menjadi keharusan bagi ilmuwan-peneliti yang ada di ilmu hayat ini dan etika keilmuan sudah lebih lama dikenal di Indonesia ini. Bioetika diartikan tidak lain sebagai pedoman aktivitas biologiwan atau ahli-ahli biologi di dalam melakukan pekerjaannya sehingga tidak menimbulkan efek negatif bagi kehidupan.
Akal merupakan faktor utama dalam proses mendapatkan ilmu. Faktor akal ini yang membedakan manusia dari hewan, maka dapat diterima dalam menemukan ilmu biologi Islam, penggunaan pancaindera yang sehat dan akal yang sehat untuk memahami kebenaran hakekat dari fenomena hayati organisme tumbuhan dan hewan/manusia yang hidup.
Saintis/biologiwan mencari hakekat atau realitas dibalik alam fenomenal yang lahir yang mampu merangkum berbagai performens hayati. Akan tetapi pencarian ilmu biologis kurang atau sedikit sekali menggunakan daya ilhami, karena ontologi biologi yang mensifatkan demikian, yang berbeda dengan sains sosial atau psikologi. Fenomena biologi umumnya bersifat fisik yang mudah ditangkap oleh indera. Oleh karena itu biologiwan sedikit mendapat penjelasan secara ilhami. Meskipun demikian , dalam perjalanannya sering kita dengar berita dari para penemu sains terjadinya “lucky discovery”. Penemuan yang muncul tiba-tiba. Ilham/intuisi yang mengakhiri kemandegan saintis dalam pencarian ilmunya.
Aristoteles 300 SM menyatakan pemikirannya, bahwa binatang atau mahluk kecil itu munculnya begitu saja dari benda yang mati. Pemikiran itu dianut juga oleh Needham, pendeta orang Irlandia yang pada tahun 1745-1750 mengadakan percobaan dan penelitian dengan variasi emulsi dan cairan biji-bijian, daging dan substrat lainnya. Air rebusan yang disediakan disimpan rapat-rapat dalam wadah tertutup, namun mikroorganisme dapat muncul dan hidup pada media tersebut. Kesimpulannya, kehidupan baru dapat muncul dari benda yang mati. Pendapat ini terkenal dengan teori abiogenesis (mahluk muncul begitu saja dari barang mati) atau juga disebut teori generatio spontanea (mahluk itu terjadi begitu saja muncul secara spontan). Tetapi kemudian, pendapat Aristoteles dan Needhan tersebut dibantah oleh Spallanzani (1729-1799) yang membuktikan bahwa perebusan dan penutupan botol yang dilakukan Needhan tidak akurat.
Percobaan Schultze 1836 dan Schroeder dan Dusch pada 1854 serta Louis Pasteur tahun 1865 membuktikan bahwa tidak ada kehidupan baru dari benda mati. Pendapat ini dikenal dengan semboyan Omne vivum ex ovo, omne ovum ex vivo (kehidupan itu berasal dari telur, dan telur itu berasal dari sesuatu yang hidup). Penelitian saintis barat tersebut belum dapat menjawab dari mana asal mahluk kecil (bakteri) bermula. Mereka berhenti disana, tidak ada panduan atau petunjuk yang mengarahkan pada suatu keyakinan yang berada di luar rasio mereka.
Rasio mereka bergerak pada sesuatu yang tidak empiris. Mereka mulai berpikir analisis-historis (sesuatu yang tidak dialami). Mahluk hidup atau bakteri itu adalah entitas mikroorganisme yang wujudnya tersusun dari makro-molekul protein (daging), sedangkan protein tersusun dari molekul asam amino (NH2). Memang rasional, elemen/unsur zat lemas atau nitrogen (N) dan hidrogen H2 dan sulfida H2S berlimpah dialam ini. Atmosfir (udara) bebas mengandung +78% gas nitrogen dan H2 dapat terlisis dari air (H2O), maka mereka menggunakan teori evolusi bahwa bakteri tersebut muncul melalui evolusi atau perubahan dari anasir yang ada di bumi yaitu dari zat nitrogen dan hidrogen. Memang sekarang orang sudah dapat menyusun molekul protein sintetis dengan alat mesin yang sangat canggih, tetapi satu hal yang tidak dapat dibuat adalah “hidup”. Bakteri adalah mahluk hidup yang dapat bergerak dan berbiak, bukan hanya molekul protein (daging) yang tidak bernyawa
Kemajuan Bioteknologi berbasis Biologi Molekuler dan Teknologi Rekayasa Genetika (Transgenic Experiment, Cloning, Stem Cell Experiment dan lain- lain) menyentuh martabat dan harkat hidup organisme. Perkembangan di bidang bioteknologi kedokteran/farmasi terjadi pada tahun 1978 pada saat industri Genentech di AS berhasil menyisipkan gen sintetik penyandi sintesis hormon insulin manusia ke dalam bakteri Escherissia coli, dan sebagaimana diharapkan, bakteri E. coli tersebut akhirnya memproduksi hormon insulin manusia dalam jumlah yang banyak.
2.      Sosial
Dalam perkembangannya, banyak isu yang dianggap berkaitan dengan bioetika mulai bermunculan. Isu-isu tersebut pun direspon dengan berbagai tanggapan, sebagian besar mengkhawatirkan adanya pelanggaran dalam pemanfaatannya, karena menurut sebagian orang pencapaian tersebut disinyalir berpotensi disalahgunakan.
Pengertian inseminasi buatan merupakan terjemahan dari artificial insemination. Artificial artinya buatan atau tiruan, sedangkan insemination artinya pemasukan. Dalam kamus, kata ini dimaknai dengan pembuahan buatan. Dan istilah bayi tabung muncul sebagai hasil dari pembuahan tiruan itu.
Salah satunya adalah pelayanan terhadap bayi tabung yang dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah fertilisasi-in-vitro dan memiliki pengertian sebagai berikut : Fertilisasi-in-vitro adalah pembuahan sel telur oleh sel sperma di dalam tabung petri yang dilakukan oleh petugas medis. Inseminasi buatan pada manusia sebagai suatu teknologi reproduksi berupa teknik menempatkan sperma di dalam vagina wanita, pertama kali berhasil dipraktekkan pada tahun 1970. Awal berkembangnya inseminasi buatan bermula dari ditemukannya teknik pengawetan sperma. Sperma bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam gliserol yang dibenamkan dalam cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat Fahrenheit.
Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan tuba fallopi istrinya mengalami kerusakan yang permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan pula pada pasutri yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan.
Di satu sisi bayi tabung merupakan suatu hikmah. Karena dengan proses ini dapat membantu pasangan suami istri yang subur tetapi karena suatu gangguan pada organ reproduksi, mereka tidak dapat mempunyai anak. Dalam kasus ini, sel telur istri dan sperma suami dipertemukan di luar tubuh dan zigot yang terjadi ditanam dalam kandungan istri. Pada  hal ini kiranya tidak ada pendapat pro dan kontra terhadap bayi yang lahir karena merupakan keturunan genetik suami dan istri itu sendiri. Oleh karena itu, anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Sehingga memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
Akan tetapi seiring perkembangannya, mulai timbul persoalan dimana semula program ini dapat diterima oleh semua pihak karena tujuannya yang “mulia” menjadi pertentangan.  Terkhusus bagi kasus bayi tabung yang berasal dari sperma pendonor, dalam artian bukan dari sperma suami sendiri. Karena nantinya akan timbul pertanyaan yang bernada bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan melalui proses inseminasi buatan? lebih lanjut lagi, bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan rahim) dan orang tua biologisnya? darimanakah ia memiliki hak mewaris?
3.        Psikologi
Autisme merupakan gangguan perkembangan saraf pada anak yang ditandai  keterlambatan dalam bicara, kognitif, perilaku, dan interaksi sosial. Penemuan kelainan pada sel-sel otak penyandang autisme membuka peluang bagi  stem cell sebagai salah satu metode terapi. Keunggulan stem cell terletak pada sifat pluripoten sel yang mampu berdiferensiasi, memperbaharui diri, dan  mereproduksi diri secara kontinyu. Sifat pluripoten sel dimanfaatkan untuk melakukan diferensiasi sesuai dengan sel target.  Pengertian stem cell dapat dibedakan menjadi stem cell embrionik dan non  embrionik. Stem cell embrionik umumnya diambil dari tahap blastosis sedangkan  stem cell non embrionik didapatkan dari jaringan dewasa. Asal stem cell yang berbeda masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan. Sel yang berasal  dari jarigan mesenkim (Icim et al., 2007) embrio lebih diprioritaskan karena  memiliki daya plastisitas, namun ada reaksi penolakan dari sistem imun tubuh.
Kelebihan stem cell dewasa (adult stem cell) yang tidak memiliki resiko resistensi terhadap sistem imun tubuh sebab dari  sel-sel yang sama dengan sel yang akan digantikan, namun  hanya mampu menghasilkan satu tipe sel (totipoten). Stem cell dewasa dari darah  tali pusar bayi yang baru lahir berpotensi hampir sama dengan stem cell embrionik  (Fischbach & Fischbach, 2004).  Bisa juga stem cell dewasa (adult stem cell) yang bersumber dari sum-sum tulang belakang. Teknik mendapatkan stem cell embrionik dapat dilakukan dengan cara, pertama  membuat embrio dari sperma dan oosit dalam proses fertilisasi in vitro (FIV) dan  yang kedua terapi kloning. Teknik lain yaitu menggabungkan sebuah sel dewasa  sel target dengan sel oosit. Nukleus dari oosit dihilangkan dan diganti dengan nukleus dari stem cell dewasa. Oosit  kemudian dirangsang untuk membelah  dengan menggunakan zat kimia atau kejutan listrik. Embrio yang dihasilkan akan  membawa materi genetis dari sel target. Hal ini dilakukan untuk mengurangi  resistensi dari sistem imun.
Metode stem cell masih banyak mengundang perdebatan terutama terkait dengan  etika. Proses pengambilan pada stem cell embrionik dari dalam tubuh yang akan  lebih mudah dilakukan melalui vagina. Hal ini menjadi perdebatan ketika siapa  yang berhak mengambil dan apakah ada perlindungan terhadap hak-hak wanita yang embrionya diambil. Pada stem cell embrionik dari FIV, diferensiasi sel  belum dapat secara pasti diarahkan dan bagaimana mengendalikannya setelah  diinjeksikan. Proses membuat dan mematikan embrio dianggap menyalahi etika  karena kehidupan telah dimulai sesaat setelah fertilisasi terjadi dan embrio juga  sudah memiliki status sebagai manusia (Saniei & de Vries, 2008). Embrio pada  tahap awal sampai tahap blastosis boleh digunakan untuk alasan kesehatan dan  kontribusi pada ilmu pengetahuan.
Pendapat lain menyatakan bahwa embrio tidak memerlukan perhatian khusus dari  sisi moral (Fischbach & Fischbach, 2004). Aborsi yang dilakukan pada tingkat sel  sangat diperlukan ketika faktor keselamatan organ dan individu sangat urgensi. Embrio dari tahap  blastosis belum memiliki sel-sel saraf jadi belum ada kemampuan untuk  mendeteksi dan legal digunakan untuk tujuan kesehatan. Perdebatan tentang etika  juga terjadi pada stem cell yang diambil dari tali pusar orang lain. Sel-sel yang akan ditransfer juga membawa gen yang memiliki kelainan genetis walaupun  terekspresi pada generasi berikutnya.
Terapi stem cell untuk anak autisme yang telah berhasil dilakukan untuk memperbaiki ketidaknormalan dalam sirkulasi sistem saraf pusat yaitu kerusakan  hypoferpusi basal (Icim et al., 2007) yang berkontribusi pada akumulasi  neurotransmiter dan hypoksia atau sel-sel yang mati pada sel-sel saraf pusat. Pada  autisme juga ditemukan abnormalitas imun yang dapat dideteksi pada saraf pusat  dan tepi. Terapi stem cell dewasa yang berasal dari tali pusar untuk anak autistik telah dilakukan (Icim et al., 2007). Keberhasilan ini sangat ditentukan jika asal stem cell sama dengan sel target, sehingga dapat meminimalisir penolakan reaksi  imunitas.
Perbedaan pandangan terhadap terapi autisme terjadi karena perbedaan dalam area penelitian,  misalnya ahli psikologi melihat sampai ke tingkah laku. Ahli psikologi  percaya selama masih dapat dilakukan terapi berdasarkan faktor-faktor kejiwaan,  terapi stem cell tidak perlu diaplikasikan untuk anak autis. Anak autistik yang  termasuk dalam HFA memiliki harapan untuk hidup mandiri dan sukses dalam  bekerja, jadi terapinya dapat berupa terapi perilaku dan sensori integrasi saja.
Terapi stem cell untuk anak autis dilakukan terhadap anak yang masuk dalam kategori LFA dan MFA yang memerlukan bantuan untuk hidup mandiri dan  kemungkinan tidak dapat memasuki dunia kerja. Upaya screening prenatal akan dilakukan orang tua yang telah memiliki anak autistik kategori LFA dan MFA untuk anak berikutnya. Aspek etika yang dapat muncul pada terapi stem cell untuk anak autistik juga  mencakup asal stem cell. Jika stem cell yang didapatkan melalui terapi kloning  maka akan ada proses mematikan oosit. Jika sel yang ditransfer membawa gen  yang memiliki kelainan genetis, hal ini akan sama dengan mentranfer kelainan  genetis baru. Jika pengambilan stem cell dewasa dari tubuhnya sendiri, harus  melihat kode etik penelitian manusia dan hukum perlindungan anak.
Stem cell merupakan sumber kreativitas manusia dan memiliki kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, kita tetap patut mempertimbangkan aplikasinya untuk  tujuan mulia. Jika kita setuju dengan adanya hak hidup embrio yang sama dengan  manusia, maka stem cell tidak perlu dilakukan untuk terapi autisme. Kehadiran  individu autistik ditengah-tengah kita memberi ”warna” pada keragaman populasi manusia. Kearifan dan kesabaran kita saat ini sedang dituntut sambil menunggu  kepastian apa penyebab sesungguhnya autisme.
Stem cell dapat diaplikasikan pada individu autistik bergantung pada kategori autisme atau kompleksitas penyandang.  Perdebatan tentang aspek bioetika dimulai  ketika mendefinisikan kapan kehidupan dimulai. Urgensi dan tujuan terapi stem  cell untuk autisme menjadi prioritas utama untuk mengurangi pertentangan  bioetika.
Pada dasarnya secanggih apapun dan semaju apapun teknologi yang di kembangkan manusia, ada teknologi yang manusia belum bisa dan hanya Tuhan yang Maha Sempurna. Tinggal kita menyikapinya saja bagaimana etika yang telah di ajarkan kepada masing-masing keyakinan. Karena hanya Tuhan yang bisa menciptakaan sempurna seperti manusia harapkan.

E.       Masalah-masalah yang timbul
            Kaidah kaidah bioetik merupakah sebuah hukum mutlak bagi seorang dokter. Seorang dokter wajib mengamalkan prinsip prinsip yang ada dalam kaidah tersebut, tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain. Kondisi seperti ini disebut Prima Facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada kepada 4 kaidah dasar moral yang sering juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika, yaitu:
o   Beneficence
o   Non - Maleficence
o   Justice
o   Autonomi

1.        Beneficence
          Dalam arti bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat manusia, dokter tersebut harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Perlakuan terbaik kepada pasien merupakan poin utama dalam kaidah ini. Kaidah beneficence menegaskan peran dokter untuk menyediakan kemudahan dan kesenangan kepada pasien mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada hal yang buruk. Prinsip prinsip yang terkandung didalam kaidah ini adalah;
o   Mengutamakan Alturisme
o   Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
o   Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya menguntungkan seorang dokter
o   Tidak ada pembatasan “goal based”
o   Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan suatu keburukannya
o   Paternalisme bertanggung jawab/kasih sayang
o   Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
o   Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
o   Menerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti yang orang lain inginkan
o   Memberi suatu resep berkhasiat namun murah
o   Mengembangkan profesi secara terus menerus
o   Minimalisasi akibat buruk

Kaidah Benefince dalam kasus dokter Bagus
1.        Dokter Bagus telah lama bertugas di suatu desa terpencil yang sangat jauh dari kota. Sehari-harinya ia bertugas di sebuah puskesmas yang hanya ditemani oleh seorang mantri, hal ini merupakan pekerjaan yang cukup melelahkan karena setiap harinya banyak warga desa yang datang berobat karena puskesmas tersebut merupakan satu-satunya sarana kesehatan yang ada. Dokter Bagus bertugas dari pagi hari sampai sore hari tetapi tidak menutup kemungkinan ia harus mengobati pasien dimalam hari bila ada warga desa yang membutuhkan pertolongannya. (Paragraf 1).
Disini dokter bagus menunjukan bahwa ia melayani pasien tanpa mengenal batas waktu, walaupun sebenarnya ia merasakan kelelahan, tetapi  hal tersebut tidak meruntuhkan niatnnya untuk menolong pasien dokter bagus juga rela berkorban demi orang lain. Dalam kasus ini, dokter bagus telah menjalankan prinsip altruisme dalam kaidah Beneficence.
2.        Setelah memeriksakan anak tersebut, dokter Bagus menyarankan agar anak tersebut dirawat dirumah sakit yang berada dikota.(Paragraf 2).
Dapat kita lihat bahwa dokter bagus juga telah melakukan suatu tindakan yang berhubungan dengan Kaidah Beneficence yaitu mengusahakan agar kebaikan atau manfaat lebih banyak dibandingkan dengan keburukannya, dan meminimalisasi akibat buruk.
3.        Dokter Bagus memberikan beberapa macam obat dan vitamin serta nasehat agar istirahat yang cukup.(Paragraf 2).
Disini dokter Bagus memberi perhatian penuh kepada pasien, dalam mengusahakan agar kebaikan serta manfaatnya lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang akan diterima pasien.
4.        “Pak mantri tolong bikinkan puyer untuk anak ibu ini dan setelah itu tolong jelaskan cara membuat air oralit pada ibu ini” kata dokter Bagus kepada pak mantri. (Paragraf 3)
            Dapat dilihat jika dokter Bagus juga menjalankan prinsip Benefince yang ke 15 yaitu, memberikan obat berkhasiat namun murah kepada pasiennya.
5.        “Pak, yang hanya dapat saya lakukan adalah memberi obat obatan penunjang agar anak bapak tidak terlalu menderita” kata dokter Bagus sambil menyerahkan obat kepada orang tua pasien. (Paragraf 4).
Dokter bagus memberikan obat penunjang untuk meminimalisasi akibat buruk agar pasien tidek terlalu menderita.
6.        Sambil bersimbah peluh, dokter Bagus akhirnya menyelesaikan tindakan amputasi telapak tangan pemuda yang mengalami kecelakaan tersebut. (Paragraf 5). Disini dokter Bagus menunjukkan sisi paternalisme penuh kasih sayang dan bertanggung jawab sebagai seorang dokter dalam menangani pasiennya.
7.        Demikianlah kegiatan sehari-hari dokter Bagus dan tanpa terasa sudah 25 tahun dokter Bagus mengabdi di desa tersebut dan kini usianya sudah memasuki 55 tahun, namun belum ada sedikitpun dibenaknya dokter Bagus untuk mencari pendamping hidupnya, yang ada hanya bagaimana mengobati pasien-pasiennya (Paragraf 7).
Disini dokter Bagus menunjukkan sis i altruisme, ia menolong dan rela berkorban demi kepentingan orang lain, dan tidak mementingkan dirinya sendiri.

2.      Non – Malficence
          Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang paling kecil resikonya bagi pasien yang dirawat atau diobati olehnya. Pernyataan kunoFist, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Non-malficence mempunyai ciri-ciri:
o    Menolong pasien emergensi
o    Mengobati pasien yang luka
o    Tidak membunuh pasien
o    Tidak memandang pasien sebagai objek
o    Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien
o    Melindungi pasien dari serangan
o    Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
o    Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
o    Menghindari misrepresentasi
o    Memberikan semangat hidup
o    Tidak melakukan white collar crime

Kaidah Non - Maleficence dalam kasus dr. Bagus:
Ketika yang lain sibuk membaringkan pemuda yang tidak sadarkan diri tersebut, salah satu orang mengatakan bahwa pemuda tersebut telapak tangan sebelah kanannya masuk kedalam mesin penggilingan padi dan setelah 15 menit kemudian telapak tangan pemuda tersebut baru dapat dikeluarkan dari mesin penggilingan padi. Pada pemeriksaan, dokter Bagus mendapatkan telapak tangan pemuda tersebut hancur. Dokter Bagus bertanya kepada orang-orang yang mengantar pemuda tadi apakah diantara mereka ada keluarga dari pemuda tersebut. Dari serombongan orang tadi keluar seorang perempuan, ia mengatakan bahwa ia adalah istri dari pemuda tersebut. Dokter Bagus menjelaskan keadaan telapak tangan kanan suaminya dan tindakan yang harus dilakukan adalah amputasi. (Paragraf 5).
            Disini dokter Bagus menunjukkan usahanya yaitu melakukan amputasi dalam hal untuk meminimalisasi akibat buruk yang akan merugikan pasien, seperti kehilangan nyawa akibat pendarahan.

3.      Autonomi
Dalam kaidah ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia. Setiap individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sendiri. Autonomi bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela, dan membiarkan pasien demi dirinya sendiri. Kaidah Autonomi mempunyai prinsip – prinsip sebagai berikut:
o    Menghargai hak menentukan nasib sendiri
o    Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan
o    Berterus terang menghargai privasi
o    Menjaga rahasia pasien
o    Menghargai rasionalitas pasien
o    Melaksanakan Informed Consent
o    Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
o    Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien
o    Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk keluarga pasien sendiri
o    Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi
o    Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikann pasien
o    Mejaga hubungan atau kontrak

Kaidah Autonomi dalam kasus dr. Bagus :
1.        Namun ibu tersebut menolak karena tidak mempunyai uang untuk berobat. “Baiklah kalau begitu saya akan memberi ibu obat dan oralit untuk anak ibu, nanti ibu berikan obat tersebut sesuai dengan aturan dan usahakan anak ibu minum oralit sesering mungkin, nanti sore setelah selesai tugas saya akan mampir kerumah ibu untuk melihat kondisi keadaan anak ibu”, kata dokter Bagus. (Paragraf 3).
Disini dokter Bagus menunjukkan bahwa setiap keputusan itu berada di tangan pasien, dan dokter bagus tidak mengintervensi keputusan dari ibu tersebut. Dia juga tetap menjaga hubungan atau kontrak dengan pasien, dengan berjanji akan mengunjungi anak dari ibu tersebut
2.        Dokter Bagus menjelaskan keadaan telapak tangan kanan suaminya dan tindakan yang harus dilakukan adalah amputasi. (Paragraf 5).
Disini dokter bagus berterus terang dan tidak berbohong demi kebaikan pasien itu sendiri.
3.        Melihat kondisi pasien yang baik dan stabil, akhirnya pasien diperbolehkan pulang dengan diberi beberapa macam obat dan anjuran agar besok datang kembali untuk kontrol. (Paragraf 5).
Dapat dilihat bahwa dokter Bagus sepenuhnya memberikan keputusan kepada pasien, apakah dia mau dirawat atau tidak, dan dokter Bagus pun tetap menjaga hubungannya dengan pasien melalui kontrol rutin yang dilakukannya.
4.        Setelah menerima penjelasan tentang kemungkinan penyakit yang dideritanya, pasien pulang dengan membawa surat rujukan tersebut. (Paragraf 6)
Dapat kita lihat juga dalam paragraph ini, bahwa dokter Bagus selalu menerapkan prinsip prinsip yang ada didalam kaidah Autonomi. Dalam kasus ini, dokter Bagus menerapkan prinsip ke 3, yaitu berterus terang kepada pasiennya.

4.      Justice
          Keadilan atau Justice adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan perlakuan sama rata serta adiluntuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik, agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan tidak boleh mengubah sikap dan pelayanan dokter terhadap pasiennya. Justice mempunyai ciri-ciri :
o    Memberlakukan segala sesuatu secara universal
o    Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
o    Memberikan kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
o    Menghargai hak sehat pasien
o    Menghargai hak hukum pasien
o    Menghargai hak orang lain
o    Menjaga kelompok rentan
o    Tidak membedakan pelayanan terhadap pasien atas dasar SARA, status social, dan sebagainya
o    Tidak melakukan penyalahgunaan
o    Memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien
o    Meminta partisipasi pasien sesuai dengan kemampuannya
o    Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian secara adil
o    Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
o    Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah atau tepat
o    Menghormati hak populasi yang sama sama rentan penyakit atau gangguan kesehatan
o    Bijak dalam makroalokasi

Kaidah Justice dalam kasus dr. Bagus :
1.        Pada suatu pagi hari, ketika ia datang ke puskesmas sudah ada 4 orang pasien yang sedang mengantri. Dokter bagus memeriksa pasien sesuai nomor urut pendaftaran, hal ini dilakukannya agar pemeriksaan pasien berjalan tertib teratur. (Paragraf 2).
Disini dokter Bagus menunjukkan keadilannya dalam menangani pasien, ia memeriksa pasiennya secara teratur menurut nomor urut agar pemeriksaan berjalan dengan tertib, lancar dan tidak membeda-bedakan pasien.
2.        “Pak mantri tolong bikinkan puyer untuk anak ibu ini dan setelah itu tolong jelaskan cara membuat air oralit pada ibu ini” kata dokter Bagus kepada pak mantri. (Paragraf 3)
Dari percakapan dokter bagus diatas, dapat dilihat jika dokter Bagus menjalankan prinsip Justice yang ke sepuluh, yaitu memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien
3.        Dokter Bagus meminta kesediaan pasien keempat untuk menunggu diluar karena ia akan terlebih dahulu memberi pertolongan pada pemuda tersebut. (Paragraf 5).
Di sini dokter bagus menjalankan prinsip Justice yang ketiga, yaitu memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama.


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
         Etika adalah cabang filsafat yang mengenakan refleksi dan metode pada tugas manusia untuk menemukan nilai-nilai moral atau menerjemahkan nilai-nilai itu ke dalam norma-norma (etika dasar) dan menerapkan nya pada situasi kehidupan konkret  (Prof.Dr.Guido Maertens,1990).
         Teknologi telah berkembang yang memmunculkan berbagai problem etika. Institusi-institusi telah membahas masalah bioetika seperti transpalasi organ tubuh, pembuahan in vitro, jantung buatan, abortus, penguasaan kelahiran, alokasi sumber daya, rekayasa genetik, pengubahan perilaku, dan problem-problem yang berkaitan dengan kematian. Karena bioetika menyelidiki dimensi etis dari masalah-masalah teknologi, ilmu kedokteran, dan biologi, sejauh diterapkan pada kehidupan, maka mau tidak mau cakupannya luas sekali.
         Prinsip-prinsip dalam bioetik tersebut dapat diterapkan dalam menghadapi pasien, sehingga terciptanya situasi yang,baik bagi hubungan pasien dan dokter dalam pelayanan kesehatan demi kesembuhan pasien.
B.       Saran
Dalam pengambilan keputusan melakukan percobaan untuk mengadopsi temuan yang dapat dianggap paling bermanfaat dari beberapa aspek harus memikirkan dampak negative dan positif disekitarnya. Rekomendasi Etika dan Bioetika yaitu: Mulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga, saling mengingatkan, kembangkan etika profesi, hindari Plagiat (khusus Peneliti).





DAFTAR PUSTAKA

Basterra, F.J.E. (1994). Bioethics. Minnesota: The Lithurgical Press.
Beauchamp T, James F. (1977). Childress, Principles of Biomedical Ethics: Oxford            University Press.
Bertens, K. (2004). Etika. Jakarta: Gramedia.
Bertens,K. (1990). Prospek Perkembangan Bioetika di Indonesia. Jakarta:Makalah Kongres Persi.
Bone Edouard. (1988). Bioteknologi dan Bioetika. Yogyakarta: Kasinius.

Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed).  Jakarta: EGC.

No comments:

Post a Comment