BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada waktu awal kemerdekaan
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Berdasarkan Undang-undang
Dasar 1945 maka Presiden memiliki kekuasaan tertinggi dan dibantu oleh
menteri-menteri sebagai pembantu presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pada tanggal 12
September 1945 dibentuklah Kabinet Presidensial ( Kabinet RI I) dengan 12
departemen dan 4 menteri negara. Selain itu wilayah Indonesia yang begitu luas
dibagi menjadi 8 provinsi dan 2 daerah istimewa yang masing-masing wilayah
dipimpin oleh gubernur.
Sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi
adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa indonesia, namun sistem
ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari ajaran Trias Politica
Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan
kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Judikatif yang
kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan
kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing badan itu satu sama lain tidak
dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling meminta pertanggung jawaban.
Apabila ajaran trias politika
diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945
menganut ajaran tersbut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara
dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya
diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
Pengertian Bahasa Hukum Ketatanegaraan?
2. Bagaimana
Sejarah Ketata Negaraan Indonesia Sebelum Merdeka?
3. Bagaimana
Sejarah Ketata Negaraan Indonesia Pada Masa Kemerdekaan?
4. Bagaimana
Sejarah Ketata Negaraan Saat Perubahan/Amandemen UUD 1945?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk
Pengertian Bahasa Hukum Ketatanegaraan.
2. Untuk
Mengetahui Sejarah Ketata Negaraan Indonesia Sebelum Merdeka.
3. Untuk
Mengetahui Sejarah Ketata Negaraan Indonesia Pada Masa Kemerdekaan.
4. Untuk
Mengetahui Sejarah Ketata Negaraan Saat Perubahan/Amandemen UUD 1945.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bahasa Hukum
Ketatanegaraan
Ketatanegaraan merupakan susunan
negara atau susunan pemerintahan dan ketatanegaraan berarti segala sesuatu
mengenai susunan negara. Dengan demikian maka istilah hukum ketatanegaraan yang
dimaksud adalan aturan – aturan tentang pemerintahan negara, dan bahasa hukum
ketatanegaraan berarti bahasa yang digunakan dalam memberikan pengertian
tentang hukum ketatanegaraan, baik yang bersifat tertulis maupun yang tidak
tertulis.
Tujuan
Bahasa Hukum Ketatanegaraan :
Tujuan penggunaan bahasa hukum
adalah untuk mencapai keseragaman dalam pengertian dan pemakaian bahasa /
istilah - istilah hukum, sehingga dapat tercapai suatu kepastian hukum. Dengan
perkataan lain, agar di dalam produk hukum, kita dapat menggunakan bahasa
setepatnya sehingga dapat menyatakan sesuatu dengan jelas dan tegas tanpa
terkandung kata - kata yang mempunyai arti ganda.
Fungsi
Bahasa Hukum Ketatanegaraan :
1.
Sebagai alat komunikasi antara manusia
a. Sebagai
alat untuk menyampaikan pesan
b. Sebagai
sarana komunikasi untuk mengekspresikan sikap
c. Sebagai
alat komunikasi untuk berfikir
2.
Sebagai sarana untuk mempersatukan
kelompok manusia yang menggunakan bahasa tersebut.
Beberapa pengertian istilah yang digunakan dalam Hukum Ketatanegaraan :
1. Konstitusi
2. Konvensi
3. Bentuk
Ketatanegaraan
4. Ideoligi
Negara
5. Kedaulatan
6. Trias
Politika
7. Hak
– Hak asasi manusia
8. Perubahan
konstitusi
9. Hukum
administrasi
10. Hukum
internasional
2.2 Sejarah Ketata Negaraan Indonesia Sebelum
Merdeka
Sebelum merdeka, negara Indonesia
merasakan pahitnya penjajahan oleh beberapa negara asing. Dimulai dari portugis
yang pertama kali tiba di Malaka pada tahun 1509. Portugis berhasil menguasai
Malaka pada 10 Agustus 1511 yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Setelah
menguasai Malaka, portugis mulai bergerak dari Madura sampai ke Ternate. Bangsa
Indonesia melakukan berbagai perlawanan terhadap Portugis. Salah satu perlawan
yang terkenal adalah perlawan Fatahillah yang berasal dari Demak di Sunda
Kelapa (sekarang Jakarta). Fatahillah berhasil memukul mundur bangsa Portugis
dan mengambil kembali Sunda Kelapa. Setelah itu nama Sunda Kelapa diubah oleh
Fatahillah menjadi Jayakarta.
Berdasarkan pandangan historis,
politis, konstitusional, struktural maupun teknis operasional, kebijakan
desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah dalam penyelenggaraan
Pemerintahan di Indonesia merupakan pilihan yang tepat atas dasar pertimbangan
kondisi geografis Indonesia yang luas dan menyebar serta potensi dan
karakteristik yang berbeda antar wilayah.
Perbedaan yang sangat jelas antara
lain berupa keadaan demografis kependudukan multi etnis, multi kultural, adat,
bahasa, keagamaan dengan heterogenitas yang tinggi dan secara faktual terbaur
dalam keberadaan warga masyarakat dengan kondisi sosial ekonomis, tingkat
kemajuan dan daya nalar yang berbeda-beda. Jauh sebelum Republik ini lahir,
yaitu sejak wilayah Indonesia terbagi dalam kerajaan-kerajaan pola
pendelegasian wewenang desentralisasi sudah dipraktekkan. Juga pada jaman
penjajahan Belanda, kebijakan desentralisasi diberlakukan melalui Undang-Undang
Desentralisasi tanun 1993. Begitu pula pada jaman penjajahan Jepang, kebijakan
I desentralisasi tetap berlanjut dengan titik berat untuk mendukung kepentingan
militer Jepang.
Dalam naskah penyusunan
Undang-Undang Dasar 1945 terlihat jelas pertimbangan-pertimbangan yang diajukan
oleh para pendiri Republik ini dan terlihat indikasi yang tajam akan kesepakatan
untuk melaksanakan kebijakan desantralisasi. Sejak Indonesia merdeka hingga
kini, baik dengan Undang Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS dan Undang-Undang
Dasar sementara, diberlakukan kebijakan desentralisasi dalam samua
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
1948, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1974 dan yang terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999.
Secara kostitusional, kebijakan
desentralisasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 jelas terlihat dalam
sistem Pemerintahan dimana di dalamnya juga mengatur tentang pamerintahan
daerah. Dalam penjabarah Undang-Undang Dasar 1945, pada kebijakan
desantralisasi senantiasa termuat dalam Ketatapan MPRS/MPR, khususnya dalam
ketetapan tentang GBHN dan kebijakan Pemerintah yang tertuang dalam berbagai peraturan
per undang-undengan, seperti Undang-Undang, Paraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden dan berbagai macam katentuan lainnya. Kebijakan desantralisasi manjadi
landasan kuat untuk mengembangkan demokrasi di saluruh strata Pemerintahan,
dimana demokrsai merupakan salah satu sendi utama dan prinsip dasar yang dianut
olah Indonesia. Hal ini berarti memberi peluang yang luas terhadap peranan
aktif elit politik daerah dan tokoh masyarakat serta segenap lapisan masyarakat
disaluruh daerah dalam kahidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Memahami kebijaksanaan otonomi di
Indonesia akan sangat sulit tanpa melihat latar belakang sejarah perkembangan
otonomi itu sendiri. Pendekatan historis merupakan metode yang cukup relevan
dalam melakukan analisis perkembangan otonomi di Indonesia. Pendekatan sejarah
dimaksudkan untuk menunjukkan urutan perubahan yang terjadi dalam sistem
Pemerintahan Daerah di Indonesia, yang dilihat pada dua periode, yaitu sistem
Pemerintahan daerah periode sebelum kemerdekaan dan periode sesudah
kemerdekaan.
Pemerintahan daerah yang bersifat
relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah kolonial Belanda pada
awal abad ke-20 melalui Desentralisasi Wet tahun 1903, seluruh wilayah Hindia
Belanda diperintah secara sentral oleh Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja
Belanda di tangan jajahan. Disamping Pemerintahan yang dijalankan oleh pihak
kolonial Belanda terdapat juga daerah-daerah yang disebut "Swapraja"
yang diperintah oleh Raja-raja Pribumi setempat, yang diakui haknya untuk memerintah
menurut adat tradisi di Wilayahnya, asalkan mereka mengakui dan tunduk kepada
kekuasaan Pemerintah kolonial atas wilayan mereka. Raja-raja tersebut
memerintah wilayahnya berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani bersama
wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas
atas nama Pemerintah kolonial. Beberapa diantara kerajaan tersebut adalah
Yogyakarta, Surakarta, Bali dan Bone.
Pada tahun 1922, Pemerintah
Kolonial Belanda mengadakan pambaharuan
dengan maksud untuk memberikan otonomi lebih besar kepada daerah untuk
menjadikannya lebih efektif dalam menjalankan aktivitas Pemerintahan daerah.
Pembaharuan tersebut menyangkut hal-hal sebagai berikut :
a. Memberikan
kewenangan lebih besar kapada pejabat-pejabat Balanda yang ditugaskan di
wilayah Hindia Balanda.
b. Memberikan
kawenangan yang lebih besar kepada pejabat-pejabat pribumi.
c. Melibatkan
unsur-unsur progresif yang ada di daerah untuk ikut Berpartisipasi dalam
menjalankan pemerintahan di daerah .
Perbedaan sistem Pemerintahan daerah
sebalum dan sesudah Undang-Undang Desantralisasi Tahun 1903 terletak pada
eksistensi Dewan Daerah. Sebelum Undang-Undang 1903, tidak tardapat otonomi
Pemerintah daerah. Semua unit pemerintahan bersifat administratif dengan
prinsip dekonsentrasi. Setelah Undang-Undang 1903 diterbitkan, didirikan Dewan
Daerah pada unit-unit Pemerintahan tertentu, dimana kepada mereka diberikan
kawenangan untuk menggali pendapat daerah guna membiayai Pemerintahan daerah.
Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh-tokoh masyarakat setempat, namun
Kepala Pemerintahan seperti halnya Gubernur, Presiden atau Bupati tetap
diangkat oleh Pemerintah Pusat Belanda.
Pada tahun 1942, Pemerintah kolonial
Belanda digantikan oleh pendudukan Jepang, yang memerintah sampai dengan tahun
1945. Sistem Pemerintahan dibawah tentara pendudukan Jepang diatur secara
militer. Bagi wilayan Sumatra dan Jawa diperintah dibawah Angkatan Darat Jepang
yang masing-masing bermarkas di Bukit Tinggi dan Jakarta. Di luar Jawa dan Sumatera diperintah di bawah Angkatan Laut
Jepang dengan markas besar di Makassar.
Pada dasarnya sistem Pemerintahan
dibawah kependudukan tentara Jepang, meneruskan sistem Pemerintahan yang
diwariskan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Unit-unit Pemerintahan daerah
diatur berdasarkan prinsip dekonsentrasi dan semua kegiatan politik dilarahg.
Ketika Jepang mendekati kekalahan mereka mengijinkan pendirian Dewan Daerah
dengan tujuan untuk menggalang dukungan kepada bala tentara Jepang. Bahkan
sebelum mereka menyerah, Jepang mendirikan suatu Komite yang beranggotakan
pemimpin- pemimpin nasional untuk persiapan kemerdekaan Indonesia. Pemerintah
pendudukan Jepang kemudian berakhir, seiring dengan kekalahan mereka dalam
perang Asia Timur Raya dan rakyat Indonesia memproklamirkan Kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Dengan proklamasi kemerdekaan tersebut dimulai era
Pemerintahan daerah pasca kemerdekaan.
2.3 Sejarah Ketata Negaraan Indonesia Pada
Masa Kemerdekaan
Sistem pemerintahan mempunyai sistem
dan tujuan untuk menjaga suatu kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara
sering terjadi tindakan separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap
memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai
fondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis. Jika suatu
pemerintahan mempunya sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu
akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk
memprotes hal tersebut.
Secara luas berarti sistem
pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum
mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan
politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan
yang kontinu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil
dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut.
Secara sempit, sistem pemerintahan
hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga
kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku
reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri
Perkembangan ketatanegaraan
Indonesia dapat dibagi menkadi beberapa periode, sejak masa Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Walaupun sebenarnya tonggak
ketatanegaraan Indonesia telah ada jauh sebelum proklamasi.
1.
Sistem
Pemerintahan Periode 1945-1949
Lama periode : 18 Agustus 1945 – 27
Desember 1949
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
Presiden & Wapres : Ir.
Soekarno & Mohammad Hatta
(18 Agustus 1945 - 19 Desember
1948)
Syafruddin Prawiranegara (ketua
PDRI)
(19 Desember 1948 - 13 Juli 1949)
Ir. Soekarno & Mohammad Hatta
(13 Juli 1949 27 - Desember 1949)
Pernyataan van Mook untuk tidak
berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem
pemerintahan dari presidensiil menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca
oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu,
tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti
oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat
untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai
sosialis di Belanda.
Setelah munculnya Maklumat Wakil
Presiden No.X tanggal 16 November 1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua
badan, yaitu kekuasaan legislatif dijalankan oleh Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap dipegang oleh presiden
sampai tanggal 14 November 1945. Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah 14
November 1945, kekuasaan eksekutif yang semula dijalankan oleh presiden beralih
ke tangan menteri sebagai konsekuensi dari dibentuknya sistem pemerintahan
parlementer.
2.
Sistem
Pemerintahan Periode 1949-1950
Lama periode : 27 Desember 1949 –
15 Agustus 1950
Bentuk Negara : Serikat (Federasi)
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Parlementer
Semu (Quasi Parlementer)
Konstitusi : Konstitusi RIS
Presiden & Wapres : Ir.Soekarno
= presiden RIS (27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950)
Assaat = pemangku sementara jabatan
presiden RI (27 Desember 1949 - 15
Agustus 1950)
Pada tanggal 23 Agustus sampai
dengan 2 september 1949 dikota Den Hagg (Netherland) diadakan konferensi Meja
Bundar (KMB). Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, Delegasi BFO
(Bijeenkomst voor Federale Overleg) dipimpin oleh Sultan Hamid Alkadrie dan
delegasi Belanda dipimpin olah Van Harseveen.
Adapun tujuan diadakannya KMB
tersebut itu ialah untuk meyelesaikan persengketaan Indonesia dan Belanda
selekas-lekasnya dengan cara yang adil dan pengakuan kedaulatan yang nyata,
penuh dan tanpa syarat kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Salah satu keputusan pokok KMB ialah
bahwa kerajaan Balanda mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya tanpa syarat
dam tidak dapat dicabut kembali kepada RIS selambat-lambatnya pada tanggal 30
Desember 1949.
Demikianlah pada tanggal 27 Desember
1949 Ratu Juliana menandatangani Piagam Pengakuan Kedaulatan RIS di Amesterdam.
Bila kita tinjau isinya konstitusi itu jauh menyimpang dari cita-cita Indonesia
yang berideologi pancasila dan ber UUD 1945 karena :
1. Konstitusi
RIS menentukan bentuk negara serikat (federalisme) yang terbagi dalam 16 negara
bagian, yaitu 7 negara bagian dan 9 buah satuan kenegaraan (pasal 1 dan 2,
Konstitusi RIS).
2. Konstitusi
RIS menentukan suatu bentuk negara yang leberalistis atau pemerintahan
berdasarkan demokrasi parlementer, dimana menteri-menterinya bertanggung jawab
atas seluruh kebijaksanaan pemerintah kepada parlemen (pasal 118, ayat 2
Konstitusi RIS)
3. Mukadimah
Konstitusi RIS telah menghapuskan sama sekali jiwa atau semangat pembukaan UUD
proklamasi sebagai penjelasan resmi proklamasi kemerdekaan negara Indonesia (Pembukaan
UUD 1945 merupakan Decleration of independence bangsa Indonesia, kata tap MPR
no. XX/MPRS/1996).Termasuk pula dalam pemyimpangan mukadimah ini adalah
perubahan kata- kata dari kelima sila pancasila. Inilah yang kemudian yang
membuka jalan bagi penafsiran pancasila secara bebas dan sesuka hati hingga
menjadi sumber segala penyelewengan didalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
3.
Sistem
Pemerintahan Periode 1950-1959
Lama periode : 15 Agustus 1950 – 5
Juli 1959
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Parlementer
Konstitusi : UUDS 1950
Presiden & Wapres : Ir.Soekarno
& Mohammad Hatta
UUDS 1950 adalah konstitusi yang
berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14
Agustus 1950 di Jakarta.
Konstitusi ini dinamakan
"sementara", karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya
Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan
Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante
gagal membentuk konstitusi baru hingga berlarut-larut.
Dekrit Presiden 1959
dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru
sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November
1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD
yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk
kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden
Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April
1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959
Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD
1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak
tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi
kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari
pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam
kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari
upaya penyusunan UUD.
Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00,
Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di
Istana Merdeka.
Isi dekrit
presiden 5 Juli 1959 antara lain :
1. Kembali
berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2. Pembubaran
Konstituante
3. Pembentukan
MPRS dan DPAS
4.
Sistem
Pemerintahan Periode 1959-1966 (Orde Lama)
Lama periode : 5 Juli 1959 – 22
Februari 1966
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
Presiden & Wapres : Ir.Soekarno
& Mohammad Hatta
Karena situasi politik pada Sidang
Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik
sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan
kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa ini,
terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
•
Presiden mengangkat Ketua dan Wakil
Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
•
MPRS menetapkan Soekarno sebagai
presiden seumur hidup
•
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia
melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia
5.
Sistem
Pemerintahan Periode 1966-1998 (Orde Baru)
Lama periode : 22 Februari 1966 –
21 Mei 1998
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
Presiden & Wapres : Soeharto
(22 Februari 1966 – 27 Maret 1968)
Soeharto (27 Maret 1968 – 24 Maret
1973)
Soeharto & Adam Malik (24 Maret
1973 – 23 Maret 1978)
Soeharto & Hamengkubuwono IX (23 Maret 1978 –11 Maret 1983)
Soeharto & Try Sutrisno (11
Maret 1983 – 11 Maret 1988)
Soeharto & Umar Wirahadikusumah (11 Maret 1988 – 11 Maret 1993)
Soeharto & Soedharmono (11
Maret 1993 – 10 Maret 1998)
Soeharto & BJ Habiebie (10
Maret 1998– 21 Mei 1998)
Pada masa Orde Baru (1966-1998),
Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan
konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945
yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt
dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi
kekuasaan pada fihak swasta untuk menghancur hutan dan sumberalam kita.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga
menjadi konstitusi yang sangat "sakral", diantara melalui sejumlah
peraturan:
•
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang
menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak
berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
•
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang
Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD
1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
•
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
6.
Sistem
Pemerintahan Periode 1998 – sekarang
Lama periode : 21 Mei 1998 –
sekarang
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
Presiden & Wapres : B.J
Habiebie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999)
Abdurrahman Wahid & Megawati
Soekarnoputri (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001)
Megawati Soekarnoputri & Hamzah
Haz (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004)
Susilo Bambang Yudhoyono &
Muhammad Jusuf Kalla (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009)
Susilo Bambang Yudhoyono &
Boediono (20 Oktober 2009 – 2014)
Salah satu tuntutan Reformasi 1998
adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang
tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan
tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat),
kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu
"luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan
rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup
didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu
adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat,
HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta
hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD
1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
2.4 Sejarah Ketata Negaraan Saat
Perubahan/Amandemen UUD 1945
Sistem ketatanegaraan dipelajari di dalam ilmu
politik. Menurut Miriam Budiardjo (1972), politik adalah bermacam-macam
kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan
dari negara itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Untuk itu, di suatu
negara terdapat kebijakan-kebijakan umum (public polocies) yang
menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi kekuasaan dan sumber-sumber
yang ada.
Di
Indonesia pengaturan sistem ketatanegaraan diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sedangkan
kewenangan kekuasaan berada di tingkat nasional sampai kelompok masyarakat
terendah yang meliputi MPR, DPR, Presiden dan Wakil Presiden, Menteri, MA, MK,
BPK, DPA, Gubernur, Bupati/ Walikota, sampai tingkat RT.
Lembaga-lembaga
yang berkuasa ini berfungsi sebagai perwakilan dari suara dan tangan rakyat,
sebab Indonesia menganut sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, pemilik
kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat. Kekuasaan bahkan diidealkan
penyelenggaraannya bersama-sama dengan rakyat.
Pada
kurun waktu tahun 1999-2002, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali perubahan
(amandemen). Perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 ini, telah membawa
implikasi terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan berubahnya sistem
ketatanegaraan Indonesia, maka berubah pula susunan lembaga-lembaga negara yang
ada.
Berikut
ini akan dijelaskan sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum dan sesudah
Amandemen UUD 1945.
ü Sebelum Amandenen UUD
1945
Sebelum diamandemen, UUD 1945 mengatur kedudukan lembaga tertinggi
dan lembaga tinggi negara, serta hubungan antar lembaga-lembaga tersebut.
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat
diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan
kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang
sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK).
Adapun kedudukan dan hubungan antar lembaga tertinggi dan
lembaga-lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 sebelum diamandemen, dapat
diuraikan sebagai berikut:
ü Pembukaan UUD 1945
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaaan itu ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh Rakyat Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dirubah karena di dalam
Pembukaan UUD 1945 terdapat tujuan negara dan pancasila yang menjadi dasar
negara Indonesia. Jika Pembukaan UUD 1945 ini dirubah, maka secara otomatis
tujuan dan dasar negara pun ikut berubah.
ü Sesudah Amandemen UUD
1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan
(amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945
antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada
kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada
Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan
mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara
negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan
aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian
kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain
yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD
1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan
susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem
pemerintahan presidensiil.
Sistem ketatanegaraan Indonesia sesudah Amandemen UUD
1945, dapat dijelaskan sebagai berikut: Undang-Undang Dasar
merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan
(separation of power) kepada 6 lembaga negara dengan kedudukan yang
sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Tujuan
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
untuk:
1) Menyempurnakan
aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
2) Menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta
memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.
3) Menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai
dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang
sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD
1945.
4) Menyempurnakan
aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan
aspirasi, kebutuhan serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini
sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang dilakukan MPR,
merupakan bentuk tuntutan reformasi. Terdapat lima kesepakatan dasar berkaitan
dengan perubahan UUD 1945 yaitu:
1) Tidak
mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUD 1945).
2) Tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3) Mempertegas
sistem pemerintahan presidensial.
4) Penjelasan
UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam
pasal-pasal.
5) Melakukan
perubahan dengan cara adendum (artinya perubahan itu dilakukan dengan tetap
mempertahankan naskah asli UUD 1945 sesuai dengan yang terdapat dalam Lembaran
Negara Nomor 75 Tahun 1959 dan naskah perubahan diletakkan melekat pada naskah
asli).
Amandemen 1 disahkan pada tanggal 19
oktober 1999, terdiri dari 9 pasal yaitu: pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15, 17, 20,
21. Inti perubahan adalah pergeseran kekuasaan presiden yang dinilai terlampau
kuat. (diantaranya: pasal 7 memuat peraturan bahwa presiden dan wakil presiden
memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk
satu kali masa jabatan).
Amandemen 2 disahkan 18 agustus
2000, terdiri dari 5 bab dan 25 pasal yaitu: Ps.18; Ps.18A; Ps.18B; Ps.19;
Ps.20; Ps.20A; Ps.22A; Ps.22B; BabIXA, Ps 25E ;BabX, Ps.26; Ps.27; BabXA,
Ps.28A; Ps.28B; Ps.28C; Ps.28D; Ps.28E; Ps.28F; Ps.28G; Ps.28H; Ps.28I; Ps.28J;
BabXII, Ps. 30; BabXV, Ps. 36A; Ps.36B; Ps.36C. inti perubahan tentang
Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia, Lambang Negara dan
Lagu Kebangsaan. (diantaranya pasal 18 dari “Pembagian daerah Indonesia atas
daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa” diamandemen menjadi “Negara Kesatuan Republik Indonesia di
bagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten
dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”).
Amandemen 3 disahkan 10 november
2001 Perubahan 3 Bab dan 22 Pasal: Ps.1; Ps.3; Ps.6; Ps.6A; Ps.7A; Ps.7B;
Ps.7C; Ps.8; Ps.11; Ps.17, Bab VIIA, Ps.22C; Ps.22D; BabVIIB, Ps. 22E; Ps.23;
Ps.23A; Ps.23C; BabVIIIA, Ps. 23E; Ps. 23F; Ps.23G; Ps.24; Ps.24A; Ps.24B;
Ps.24C. Inti Perubahan: Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR,
Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman.(diantaranya
pasal 1 ayat 2 dari “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” di amandemen menjadi
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang
Dasar”).
Amandemen 4 disahkan 10 agustus 2002
Perubahan 2 Bab dan 13 Pasal: Ps.2; Ps.6A; Ps.8; Ps.11; Ps.16; Ps.23B; Ps.23D;
Ps.24; Ps. 31; Ps.32; BabXIV, Ps.33; Ps.34; Ps.37. Inti perubahan: DPD sebagai
bagian MPR, Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian,
mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial, perubahan UUD.(diantaranya pasal 2 ayat 1 dari “Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut
aturan yang ditetapkan dengan undang-undang” di amandemen menjadi Majelis
Permusyawaratan terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur
lebih lanjut dengan undang-undang”).
a.
Bentuk Negara dan Bentuk
Pemerintahan Menurut UUD 1945 (Pasca Perubahan)
Bentuk
negara Indonesia adalah Negara Kesatuan dan bentuk pemerintahannya ialah
republik. Bentuk negara dan bentuk pemerintahan diatur dalam UUD 1945 pasal 1
ayat (1), dan pasal 37 ayat (5) yang berbunyi:
1) Pasal
1 ayat (1): “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik.”
2) Pasal
37 ayat (5): “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,tidak
dapat dilakukan perubahan.”
b.
Sistem Pemerintahan Menurut UUD 1945
c.
Sistem Pemerintahan presidensial adalah
sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 (pasca perubahan). Ciri-ciri dari
sistem pemerintahan ini, antara lain:
1) Presiden
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan
2) Presiden
dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan bertanggung jawab
kepada rakyat.
3) Para
menteri adalah pembantu presiden dan wakil presiden. Mereka diangkat dan
diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada presiden.
4) Masa
jabatan presiden adalah lima tahun. Sesudahnya dapat dipilih kembali sebagai
presiden untuk satu kali masa jabatan.
5) Presiden
tidak tunduk kepada parlemen. Presiden dan parlemen tidak dapat saling
menjatuhkan/membubarkan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dalam membentuk Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, diperlukan adanya pendukung-pendukung.
Yaitu, adanya perubahan dalam UUD 1945 ( Amandemen UUD 1945). Karena, menurut
pendapat saya, bila tidak ada perubahan dalam tatanan hukum yang baru kita
sulit untuk menuju tujuan negara Republik Indonesia. Dan dalam membentuk
tatanan negara diperlukan persatuan dalam negara agar terdapat kedaulatan
rakyat yaitu seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
dinyatakan sebagai berikut: “ ………, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk
dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada …..” dan agar tercapai tujuan negara, sistem ketatanegaraan
yang terdiri dari perubahan UUD 1945, negara kesatuan, bentuk pemerintahan
republik, sistem pemerintahan presidensial, dan sistem politik demokrasi, harus
berjalan dengan baik agar tujuan negara kita bisa tercapai.
3.2
Saran
Kemitraan membangun hubungan penting
antara semua tingkat pemerintahan dan masyarakat sipil untuk meningkatkan tata
pemerintahan yang baik di Indonesia secara berkelanjutan. Bahkan dalam
komunitas global, Kemitraan dinilai unik karena banyak lembaga internasional
yang mendukung pendanaannya terfokus pada isu demokrasi dan pembaruan tata
pemerintahan dalam satu negara dan dikelola oleh warga negara Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
http://lisaherlani.blogspot.com/2013/05/bahasa-hukum-ketatanegaraan.html
http://adampamrahman.blogspot.com/2012/03/sistem-ketatanegaraan-republik.html
https://adiarsyadani888.wordpress.com/2013/04/04/101/
http://www.phylopop.com/2012/05/sistem-pemerintahan-indonesia-sebelum.html
http://habibi1mantap.blogspot.com/2011/10/sistem-pemerintahan-indonesia-setelah.html
http://inggitberbagi.blogspot.com/2012/10/perubahan-amandemen-uud-1945-19-oktober.html
http://intanispratiwi.blogspot.com/2012/06/ketatanegaraan-indonesia-sebelum.html
No comments:
Post a Comment