Saturday, May 30, 2015

MAKALAH SEJARAH INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Pada waktu awal kemerdekaan Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 maka Presiden memiliki kekuasaan tertinggi dan dibantu oleh menteri-menteri sebagai pembantu presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pada tanggal 12 September 1945 dibentuklah Kabinet Presidensial ( Kabinet RI I) dengan 12 departemen dan 4 menteri negara. Selain itu wilayah Indonesia yang begitu luas dibagi menjadi 8 provinsi dan 2 daerah istimewa yang masing-masing wilayah dipimpin oleh gubernur.
            Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari ajaran Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Judikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling meminta pertanggung jawaban.
            Apabila ajaran trias politika diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersbut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Bahasa Hukum Ketatanegaraan?
2.      Bagaimana Sejarah Ketata Negaraan Indonesia Sebelum Merdeka?
3.      Bagaimana Sejarah Ketata Negaraan Indonesia Pada Masa Kemerdekaan?
4.      Bagaimana Sejarah Ketata Negaraan Saat Perubahan/Amandemen UUD 1945?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk Pengertian Bahasa Hukum Ketatanegaraan.
2.      Untuk Mengetahui Sejarah Ketata Negaraan Indonesia Sebelum Merdeka.
3.      Untuk Mengetahui Sejarah Ketata Negaraan Indonesia Pada Masa Kemerdekaan.
4.      Untuk Mengetahui Sejarah Ketata Negaraan Saat Perubahan/Amandemen UUD 1945.





















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Bahasa Hukum Ketatanegaraan
            Ketatanegaraan merupakan susunan negara atau susunan pemerintahan dan ketatanegaraan berarti segala sesuatu mengenai susunan negara. Dengan demikian maka istilah hukum ketatanegaraan yang dimaksud adalan aturan – aturan tentang pemerintahan negara, dan bahasa hukum ketatanegaraan berarti bahasa yang digunakan dalam memberikan pengertian tentang hukum ketatanegaraan, baik yang bersifat tertulis maupun yang tidak tertulis.

Tujuan Bahasa Hukum Ketatanegaraan :
            Tujuan penggunaan bahasa hukum adalah untuk mencapai keseragaman dalam pengertian dan pemakaian bahasa / istilah - istilah hukum, sehingga dapat tercapai suatu kepastian hukum. Dengan perkataan lain, agar di dalam produk hukum, kita dapat menggunakan bahasa setepatnya sehingga dapat menyatakan sesuatu dengan jelas dan tegas tanpa terkandung kata - kata yang mempunyai arti ganda.

Fungsi Bahasa Hukum Ketatanegaraan :
1.      Sebagai alat komunikasi antara manusia
a.       Sebagai alat untuk menyampaikan pesan
b.      Sebagai sarana komunikasi untuk mengekspresikan sikap
c.       Sebagai alat komunikasi untuk berfikir
2.      Sebagai sarana untuk mempersatukan kelompok manusia yang menggunakan bahasa tersebut.
       Beberapa pengertian istilah yang digunakan dalam Hukum Ketatanegaraan :
1.      Konstitusi
2.      Konvensi
3.      Bentuk Ketatanegaraan
4.      Ideoligi Negara
5.      Kedaulatan
6.      Trias Politika
7.      Hak – Hak asasi manusia
8.      Perubahan konstitusi
9.      Hukum administrasi
10.  Hukum internasional

2.2  Sejarah Ketata Negaraan Indonesia Sebelum Merdeka
            Sebelum merdeka, negara Indonesia merasakan pahitnya penjajahan oleh beberapa negara asing. Dimulai dari portugis yang pertama kali tiba di Malaka pada tahun 1509. Portugis berhasil menguasai Malaka pada 10 Agustus 1511 yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Setelah menguasai Malaka, portugis mulai bergerak dari Madura sampai ke Ternate. Bangsa Indonesia melakukan berbagai perlawanan terhadap Portugis. Salah satu perlawan yang terkenal adalah perlawan Fatahillah yang berasal dari Demak di Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Fatahillah berhasil memukul mundur bangsa Portugis dan mengambil kembali Sunda Kelapa. Setelah itu nama Sunda Kelapa diubah oleh Fatahillah menjadi Jayakarta.
            Berdasarkan pandangan historis, politis, konstitusional, struktural maupun teknis operasional, kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia merupakan pilihan yang tepat atas dasar pertimbangan kondisi geografis Indonesia yang luas dan menyebar serta potensi dan karakteristik yang berbeda antar wilayah.
            Perbedaan yang sangat jelas antara lain berupa keadaan demografis kependudukan multi etnis, multi kultural, adat, bahasa, keagamaan dengan heterogenitas yang tinggi dan secara faktual terbaur dalam keberadaan warga masyarakat dengan kondisi sosial ekonomis, tingkat kemajuan dan daya nalar yang berbeda-beda. Jauh sebelum Republik ini lahir, yaitu sejak wilayah Indonesia terbagi dalam kerajaan-kerajaan pola pendelegasian wewenang desentralisasi sudah dipraktekkan. Juga pada jaman penjajahan Belanda, kebijakan desentralisasi diberlakukan melalui Undang-Undang Desentralisasi tanun 1993. Begitu pula pada jaman penjajahan Jepang, kebijakan I desentralisasi tetap berlanjut dengan titik berat untuk mendukung kepentingan militer Jepang.
            Dalam naskah penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 terlihat jelas pertimbangan-pertimbangan yang diajukan oleh para pendiri Republik ini dan terlihat indikasi yang tajam akan kesepakatan untuk melaksanakan kebijakan desantralisasi. Sejak Indonesia merdeka hingga kini, baik dengan Undang Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar sementara, diberlakukan kebijakan desentralisasi dalam samua Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 dan yang terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999.
            Secara kostitusional, kebijakan desentralisasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 jelas terlihat dalam sistem Pemerintahan dimana di dalamnya juga mengatur tentang pamerintahan daerah. Dalam penjabarah Undang-Undang Dasar 1945, pada kebijakan desantralisasi senantiasa termuat dalam Ketatapan MPRS/MPR, khususnya dalam ketetapan tentang GBHN dan kebijakan Pemerintah yang tertuang dalam berbagai peraturan per undang-undengan, seperti Undang-Undang, Paraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai macam katentuan lainnya. Kebijakan desantralisasi manjadi landasan kuat untuk mengembangkan demokrasi di saluruh strata Pemerintahan, dimana demokrsai merupakan salah satu sendi utama dan prinsip dasar yang dianut olah Indonesia. Hal ini berarti memberi peluang yang luas terhadap peranan aktif elit politik daerah dan tokoh masyarakat serta segenap lapisan masyarakat disaluruh daerah dalam kahidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
            Memahami kebijaksanaan otonomi di Indonesia akan sangat sulit tanpa melihat latar belakang sejarah perkembangan otonomi itu sendiri. Pendekatan historis merupakan metode yang cukup relevan dalam melakukan analisis perkembangan otonomi di Indonesia. Pendekatan sejarah dimaksudkan untuk menunjukkan urutan perubahan yang terjadi dalam sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, yang dilihat pada dua periode, yaitu sistem Pemerintahan daerah periode sebelum kemerdekaan dan periode sesudah kemerdekaan.
            Pemerintahan daerah yang bersifat relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-20 melalui Desentralisasi Wet tahun 1903, seluruh wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral oleh Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda di tangan jajahan. Disamping Pemerintahan yang dijalankan oleh pihak kolonial Belanda terdapat juga daerah-daerah yang disebut "Swapraja" yang diperintah oleh Raja-raja Pribumi setempat, yang diakui haknya untuk memerintah menurut adat tradisi di Wilayahnya, asalkan mereka mengakui dan tunduk kepada kekuasaan Pemerintah kolonial atas wilayan mereka. Raja-raja tersebut memerintah wilayahnya berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani bersama wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas atas nama Pemerintah kolonial. Beberapa diantara kerajaan tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Bali dan Bone.
            Pada tahun 1922, Pemerintah Kolonial  Belanda mengadakan pambaharuan dengan maksud untuk memberikan otonomi lebih besar kepada daerah untuk menjadikannya lebih efektif dalam menjalankan aktivitas Pemerintahan daerah. Pembaharuan tersebut menyangkut hal-hal sebagai berikut :
a.       Memberikan kewenangan lebih besar kapada pejabat-pejabat Balanda yang ditugaskan di wilayah Hindia Balanda.
b.      Memberikan kawenangan yang lebih besar kepada pejabat-pejabat pribumi.
c.       Melibatkan unsur-unsur progresif yang ada di daerah untuk ikut Berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan di daerah .
            Perbedaan sistem Pemerintahan daerah sebalum dan sesudah Undang-Undang Desantralisasi Tahun 1903 terletak pada eksistensi Dewan Daerah. Sebelum Undang-Undang 1903, tidak tardapat otonomi Pemerintah daerah. Semua unit pemerintahan bersifat administratif dengan prinsip dekonsentrasi. Setelah Undang-Undang 1903 diterbitkan, didirikan Dewan Daerah pada unit-unit Pemerintahan tertentu, dimana kepada mereka diberikan kawenangan untuk menggali pendapat daerah guna membiayai Pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh-tokoh masyarakat setempat, namun Kepala Pemerintahan seperti halnya Gubernur, Presiden atau Bupati tetap diangkat oleh Pemerintah Pusat Belanda.
            Pada tahun 1942, Pemerintah kolonial Belanda digantikan oleh pendudukan Jepang, yang memerintah sampai dengan tahun 1945. Sistem Pemerintahan dibawah tentara pendudukan Jepang diatur secara militer. Bagi wilayan Sumatra dan Jawa diperintah dibawah Angkatan Darat Jepang yang masing-masing bermarkas di Bukit Tinggi dan Jakarta. Di luar Jawa dan  Sumatera diperintah di bawah Angkatan Laut Jepang dengan markas besar di Makassar.
            Pada dasarnya sistem Pemerintahan dibawah kependudukan tentara Jepang, meneruskan sistem Pemerintahan yang diwariskan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Unit-unit Pemerintahan daerah diatur berdasarkan prinsip dekonsentrasi dan semua kegiatan politik dilarahg. Ketika Jepang mendekati kekalahan mereka mengijinkan pendirian Dewan Daerah dengan tujuan untuk menggalang dukungan kepada bala tentara Jepang. Bahkan sebelum mereka menyerah, Jepang mendirikan suatu Komite yang beranggotakan pemimpin- pemimpin nasional untuk persiapan kemerdekaan Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang kemudian berakhir, seiring dengan kekalahan mereka dalam perang Asia Timur Raya dan rakyat Indonesia memproklamirkan Kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan proklamasi kemerdekaan tersebut dimulai era Pemerintahan daerah pasca kemerdekaan.

2.3  Sejarah Ketata Negaraan Indonesia Pada Masa Kemerdekaan
            Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis. Jika suatu pemerintahan mempunya sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk memprotes hal tersebut.
            Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut.
            Secara sempit, sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri
            Perkembangan ketatanegaraan Indonesia dapat dibagi menkadi beberapa periode, sejak masa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Walaupun sebenarnya tonggak ketatanegaraan Indonesia telah ada jauh sebelum proklamasi.

1.      Sistem Pemerintahan Periode 1945-1949
Lama periode : 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
Presiden & Wapres : Ir. Soekarno & Mohammad Hatta
(18 Agustus 1945 - 19 Desember 1948)
Syafruddin Prawiranegara (ketua PDRI)
(19 Desember 1948 - 13 Juli 1949)
Ir. Soekarno & Mohammad Hatta
(13 Juli 1949 27 - Desember 1949)
            Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
            Setelah munculnya Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 November 1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu kekuasaan legislatif dijalankan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap dipegang oleh presiden sampai tanggal 14 November 1945. Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah 14 November 1945, kekuasaan eksekutif yang semula dijalankan oleh presiden beralih ke tangan menteri sebagai konsekuensi dari dibentuknya sistem pemerintahan parlementer.

2.      Sistem Pemerintahan Periode 1949-1950
Lama periode : 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950
Bentuk Negara : Serikat (Federasi)
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Parlementer Semu (Quasi Parlementer)
Konstitusi : Konstitusi RIS
Presiden & Wapres : Ir.Soekarno = presiden RIS (27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950)
Assaat = pemangku sementara jabatan presiden RI (27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950)

            Pada tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 september 1949 dikota Den Hagg (Netherland) diadakan konferensi Meja Bundar (KMB). Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, Delegasi BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleg) dipimpin oleh Sultan Hamid Alkadrie dan delegasi Belanda dipimpin olah Van Harseveen.
            Adapun tujuan diadakannya KMB tersebut itu ialah untuk meyelesaikan persengketaan Indonesia dan Belanda selekas-lekasnya dengan cara yang adil dan pengakuan kedaulatan yang nyata, penuh dan tanpa syarat kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
            Salah satu keputusan pokok KMB ialah bahwa kerajaan Balanda mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya tanpa syarat dam tidak dapat dicabut kembali kepada RIS selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
            Demikianlah pada tanggal 27 Desember 1949 Ratu Juliana menandatangani Piagam Pengakuan Kedaulatan RIS di Amesterdam. Bila kita tinjau isinya konstitusi itu jauh menyimpang dari cita-cita Indonesia yang berideologi pancasila dan ber UUD 1945 karena :
1.      Konstitusi RIS menentukan bentuk negara serikat (federalisme) yang terbagi dalam 16 negara bagian, yaitu 7 negara bagian dan 9 buah satuan kenegaraan (pasal 1 dan 2, Konstitusi RIS).
2.      Konstitusi RIS menentukan suatu bentuk negara yang leberalistis atau pemerintahan berdasarkan demokrasi parlementer, dimana menteri-menterinya bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah kepada parlemen (pasal 118, ayat 2 Konstitusi RIS)
3.      Mukadimah Konstitusi RIS telah menghapuskan sama sekali jiwa atau semangat pembukaan UUD proklamasi sebagai penjelasan resmi proklamasi kemerdekaan negara Indonesia (Pembukaan UUD 1945 merupakan Decleration of independence bangsa Indonesia, kata tap MPR no. XX/MPRS/1996).Termasuk pula dalam pemyimpangan mukadimah ini adalah perubahan kata- kata dari kelima sila pancasila. Inilah yang kemudian yang membuka jalan bagi penafsiran pancasila secara bebas dan sesuka hati hingga menjadi sumber segala penyelewengan didalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
                                               
3.      Sistem Pemerintahan Periode 1950-1959
Lama periode : 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Parlementer
Konstitusi : UUDS 1950
Presiden & Wapres : Ir.Soekarno & Mohammad Hatta

            UUDS 1950 adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
            Konstitusi ini dinamakan "sementara", karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru hingga berlarut-larut.
            Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.
            Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.
Isi dekrit presiden 5 Juli 1959 antara lain :
1.      Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2.      Pembubaran Konstituante
3.      Pembentukan MPRS dan DPAS

4.      Sistem Pemerintahan Periode 1959-1966 (Orde Lama)
Lama periode : 5 Juli 1959 – 22 Februari 1966
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
Presiden & Wapres : Ir.Soekarno & Mohammad Hatta

            Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
         Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
         MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
         Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia

5.      Sistem Pemerintahan Periode 1966-1998 (Orde Baru)
Lama periode : 22 Februari 1966 – 21 Mei 1998
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
Presiden & Wapres : Soeharto (22 Februari 1966 – 27 Maret 1968)
Soeharto (27 Maret 1968 – 24 Maret 1973)
Soeharto & Adam Malik (24 Maret 1973 – 23 Maret 1978)
Soeharto & Hamengkubuwono IX (23 Maret 1978 –11 Maret 1983)
Soeharto & Try Sutrisno (11 Maret 1983 – 11 Maret 1988)
Soeharto & Umar Wirahadikusumah (11 Maret 1988 – 11 Maret 1993)
Soeharto & Soedharmono (11 Maret 1993 – 10 Maret 1998)
Soeharto & BJ Habiebie (10 Maret 1998– 21 Mei 1998)

            Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada fihak swasta untuk menghancur hutan dan sumberalam kita.
            Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", diantara melalui sejumlah peraturan:
         Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
         Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
         Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

6.      Sistem Pemerintahan Periode 1998 – sekarang
Lama periode : 21 Mei 1998 – sekarang
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik
Sistem Pemerintahan : Presidensial
Konstitusi : UUD 1945
Presiden & Wapres : B.J Habiebie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999)
Abdurrahman Wahid & Megawati Soekarnoputri (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001)
Megawati Soekarnoputri & Hamzah Haz (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004)
Susilo Bambang Yudhoyono & Muhammad Jusuf Kalla (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009)
Susilo Bambang Yudhoyono & Boediono (20 Oktober 2009 – 2014)

            Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
            Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.

2.4  Sejarah Ketata Negaraan Saat Perubahan/Amandemen UUD 1945
            Sistem ketatanegaraan dipelajari di dalam ilmu politik. Menurut Miriam Budiardjo (1972), politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari negara itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Untuk itu, di suatu negara  terdapat kebijakan-kebijakan umum (public polocies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi kekuasaan dan sumber-sumber yang ada.
            Di Indonesia pengaturan sistem ketatanegaraan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sedangkan kewenangan kekuasaan berada di tingkat nasional sampai kelompok masyarakat terendah yang meliputi MPR, DPR, Presiden dan Wakil Presiden, Menteri, MA, MK, BPK, DPA, Gubernur, Bupati/ Walikota, sampai tingkat RT.
            Lembaga-lembaga yang berkuasa ini berfungsi sebagai perwakilan dari suara dan tangan rakyat, sebab Indonesia menganut sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat. Kekuasaan bahkan diidealkan penyelenggaraannya bersama-sama dengan rakyat.
            Pada kurun waktu tahun 1999-2002, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali perubahan (amandemen). Perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 ini, telah membawa implikasi terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan berubahnya sistem ketatanegaraan Indonesia, maka berubah pula susunan lembaga-lembaga negara yang ada.
            Berikut ini akan dijelaskan sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945.
ü  Sebelum Amandenen UUD 1945
            Sebelum diamandemen, UUD 1945 mengatur kedudukan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara, serta hubungan antar lembaga-lembaga tersebut.  Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
            Adapun kedudukan dan hubungan antar lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 sebelum diamandemen, dapat diuraikan sebagai berikut:
ü  Pembukaan UUD 1945
            Bahwa sesungguhnya Kemerdekaaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
            Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
            Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
            Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
            Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dirubah karena di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat tujuan negara dan pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Jika Pembukaan UUD 1945 ini dirubah, maka secara otomatis tujuan dan dasar negara pun ikut berubah.

ü  Sesudah Amandemen UUD 1945
            Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
            Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
            Sistem ketatanegaraan Indonesia sesudah Amandemen UUD 1945, dapat dijelaskan sebagai berikut:  Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 lembaga negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
            Tujuan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) untuk:
1)      Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
2)      Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.
3)      Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945.
4)      Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.
              Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang dilakukan MPR, merupakan bentuk tuntutan reformasi. Terdapat lima kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yaitu:
1)      Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUD 1945).
2)      Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3)      Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
4)      Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
5)      Melakukan perubahan dengan cara adendum (artinya perubahan itu dilakukan dengan tetap mempertahankan naskah asli UUD 1945 sesuai dengan yang terdapat dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959 dan naskah perubahan diletakkan melekat pada naskah asli).
            Amandemen 1 disahkan pada tanggal 19 oktober 1999, terdiri dari 9 pasal yaitu: pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15, 17, 20, 21. Inti perubahan adalah pergeseran kekuasaan presiden yang dinilai terlampau kuat. (diantaranya: pasal 7 memuat peraturan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk  satu kali masa jabatan).
            Amandemen 2 disahkan 18 agustus 2000, terdiri dari 5 bab dan 25 pasal yaitu: Ps.18; Ps.18A; Ps.18B; Ps.19; Ps.20; Ps.20A; Ps.22A; Ps.22B; BabIXA, Ps 25E ;BabX, Ps.26; Ps.27; BabXA, Ps.28A; Ps.28B; Ps.28C; Ps.28D; Ps.28E; Ps.28F; Ps.28G; Ps.28H; Ps.28I;  Ps.28J; BabXII, Ps. 30; BabXV, Ps. 36A; Ps.36B; Ps.36C. inti perubahan tentang Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan. (diantaranya pasal 18 dari “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” diamandemen menjadi “Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”).
            Amandemen 3 disahkan 10 november 2001 Perubahan 3 Bab dan 22 Pasal: Ps.1; Ps.3; Ps.6; Ps.6A; Ps.7A; Ps.7B; Ps.7C; Ps.8; Ps.11; Ps.17, Bab VIIA, Ps.22C; Ps.22D; BabVIIB, Ps. 22E; Ps.23; Ps.23A; Ps.23C; BabVIIIA, Ps. 23E; Ps. 23F; Ps.23G; Ps.24; Ps.24A; Ps.24B; Ps.24C. Inti Perubahan: Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman.(diantaranya pasal  1 ayat 2 dari  “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” di amandemen menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”).
            Amandemen 4 disahkan 10 agustus 2002 Perubahan 2 Bab dan 13 Pasal: Ps.2; Ps.6A; Ps.8; Ps.11; Ps.16; Ps.23B; Ps.23D; Ps.24; Ps. 31; Ps.32; BabXIV, Ps.33; Ps.34; Ps.37. Inti perubahan: DPD sebagai bagian MPR, Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, perubahan UUD.(diantaranya pasal 2 ayat 1 dari “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang” di amandemen menjadi Majelis Permusyawaratan terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”).
a.       Bentuk  Negara dan Bentuk Pemerintahan Menurut UUD 1945 (Pasca Perubahan)
            Bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan dan bentuk pemerintahannya ialah republik. Bentuk negara dan bentuk pemerintahan diatur dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (1), dan pasal 37 ayat (5) yang berbunyi:
1)      Pasal 1 ayat (1): “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik.”
2)      Pasal 37 ayat (5): “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,tidak dapat dilakukan perubahan.”
b.      Sistem Pemerintahan Menurut UUD 1945
c.       Sistem Pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 (pasca perubahan). Ciri-ciri dari sistem pemerintahan ini, antara lain:
1)      Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan
2)      Presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan bertanggung jawab kepada rakyat.
3)      Para menteri adalah pembantu presiden dan wakil presiden. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada presiden.
4)      Masa jabatan presiden adalah lima tahun. Sesudahnya dapat dipilih kembali sebagai presiden untuk satu kali masa jabatan.
5)      Presiden tidak tunduk kepada parlemen. Presiden dan parlemen tidak dapat saling menjatuhkan/membubarkan.






















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Dalam membentuk Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, diperlukan adanya pendukung-pendukung. Yaitu, adanya perubahan dalam UUD 1945 ( Amandemen UUD 1945). Karena, menurut pendapat saya, bila tidak ada perubahan dalam tatanan hukum yang baru kita sulit untuk menuju tujuan negara Republik Indonesia. Dan dalam membentuk tatanan negara diperlukan persatuan dalam negara agar terdapat kedaulatan rakyat yaitu seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan sebagai berikut: “ ………, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada …..” dan agar tercapai tujuan negara, sistem ketatanegaraan yang terdiri dari perubahan UUD 1945, negara kesatuan, bentuk pemerintahan republik, sistem pemerintahan presidensial, dan sistem politik demokrasi, harus berjalan dengan baik agar tujuan negara kita bisa tercapai.

3.2 Saran
            Kemitraan membangun hubungan penting antara semua tingkat pemerintahan dan masyarakat sipil untuk meningkatkan tata pemerintahan yang baik di Indonesia secara berkelanjutan. Bahkan dalam komunitas global, Kemitraan dinilai unik karena banyak lembaga internasional yang mendukung pendanaannya terfokus pada isu demokrasi dan pembaruan tata pemerintahan dalam satu negara dan dikelola oleh warga negara Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA
http://lisaherlani.blogspot.com/2013/05/bahasa-hukum-ketatanegaraan.html
http://adampamrahman.blogspot.com/2012/03/sistem-ketatanegaraan-republik.html
https://adiarsyadani888.wordpress.com/2013/04/04/101/
http://www.phylopop.com/2012/05/sistem-pemerintahan-indonesia-sebelum.html
http://habibi1mantap.blogspot.com/2011/10/sistem-pemerintahan-indonesia-setelah.html
http://inggitberbagi.blogspot.com/2012/10/perubahan-amandemen-uud-1945-19-oktober.html
http://intanispratiwi.blogspot.com/2012/06/ketatanegaraan-indonesia-sebelum.html

No comments:

Post a Comment