BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Berbicara
tentang poligami, ini bukan lagi merupakan pembicaraan yang baru dikenal dan
hal yang baru ada dikehidupan manusia, bahkan poligami merupakan warisan yang
membudaya dikehidupan manusia. Akan tetapi masalah poligami akhir-akhir ini
masih saja menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai baik dikalangan orang
muslim sendiri ataupun non muslim, meski mereka sudah tahu bahwa hal itu
merupakan suatu ajaran atau syari'ah yang harus diterima keberadaannya.
Poligami bukan hanya
gencar menjadi pembicaraan dikalangan muslim saja, orang non muslim juga tak
habis-habisnya mempermasalahkan praktek poligami, bahkan mereka sampai
melontarkan tuduhan pada Nabi kita bahwa beliau adalah orang hiperseksual. Tapi
kalau merunut pada sejarah dan Al-kitab yang mereka miliki ternyata para
pendahulu-pendahulu mereka bahkan para nabi-nabi mereka sudah terbiasa
melakukan praktek poligami.
Dan
poligami dalam islam adanya bukan tanpa tujuan dan alasan yang rasional,
seperti yang kita ketahui bahwa semua yang telah menjadi aturan dan hukum dalam
islam itu sudah ada alasan dan hikmah yang terkadang kita kurang menyadari dan
memahami.
1.2
Rumusan masalah
Dengan
beberapa latar belakang diatas penulis akan merumuskan
permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam bab pembahasn nanti:
1. Apa
itu poligami?
2. Mulai kapan praktek poligami ada?
3. Golongan
apa saja yang biasa mempraktekkan poligami?
4. Apa
alasan islam dalam memperbolehkan poligami?
1.3 Tujuan penulisan
Kami
sebagai penyusun makalah pastinya punya tujuan yang berkaitan dengan isi,
prakttek dari isi makalah dan lainnya, antara lain:
1. Untuk
memenuhi tugas yang dipercayakan oleh dosen pada kami.
2. Agar
dapat mengikuti program perkuliahan secara
optimal dan maksimal.
3. Belajar
mencari sumber-sumber masalah yang akurat
4. Melatih
diri dalam penulisan yang sesuai dengan aturan penulisan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Poligami
Kata
Monogamy dapat dipasangkan dengan poligami sebagai antonim, Monogamy adalah perkawinan dengan
istri tunggal yang artinya seorang laki-laki menikah dengan
seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua
orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian makna ini
mempunyai dua kemungkinan pengertian; Seorang laki-laki menikah dengan banyak laki-laki kemungkinan pertama
disebut Polygini dan kemungkinan yang kedua disebut Polyandry.
Hanya
saja yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehinggah poligami
dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak, sedangkan kata poligyni sendiri
tidak lazim dipakai. Poligami
berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa
lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul
melainkan dalam menjalani hidup
berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami
mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.
Poligami
adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama
mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam perkawinan adalah
monogamy, sedangkan poligami datang belakangan sesuai dengan perkembangan akal
pikiran manusia dari zaman ke zaman.
Menurut
para ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja pembesar Negara
dan orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan
ada pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat
perang, dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan
kemudian dijadikan gundik dan sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi
kedudukanya, makin banyak mengumpulkan
wanita. Dengan demikian poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman perbudakan yang mana hal
ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.
Poligami
adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orang-orang yang
memfitnah Islam dan seolah-olah memperlihatkan semangat pembelaan terhadap
hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi mereka, bahwa kondisi
perempuan dalam masyarakat Islam sangat memprihatinkan dan dalam hal kesulitan,
karena tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana
dikemukakan oleh banyak penulis, bahwa poligami itu berasal dari bahasa Yunani,
kata ini merupakan penggalan kata Poli atau Polus yang artinya banyak, dan kata
Gamein atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini
digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti
poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak
terbatas.
Namun dalam Islam,
poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan. Umumnya
dibolehkan hanya sampai empat wanita saja.[4]
2.2 Dasar
Hukum Poligami
Yaitu terletak dalam
surat An-Nisa` ayat 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى
أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Maksudnya berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam
meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat
lahiriyah. Dan Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para
nabi sebelum nabi Muhammad SAW. Ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang
saja.
2.3 Alasan Poligami
Pada
dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang
beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh
Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP)
dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57 seperti dijelaskan sebagai berikut:
a. Isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila diperhatikan
alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami bahwa
alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk
rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah, mawaddah, dan
rahmah ) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang
disebutkan di atas menimpa suami-istri maka dapat dianggap rumah tangga
tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan rahmah).
2.4 Syarat-syarat Poligami
Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang sebagai berikut:
(1) Untuk dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya
persetujuan dari istri/ isteri-isteri;
b. Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka;
c. Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
(2) Persetujuan yang
dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.
2.5 Prosedur Poligami
Prosedur poligami
menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur
lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Pasal 56 KHI
1) Suami
yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan
Agama.
2) Pengajuan
permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana
diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
3) Perkawinan
yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau ke empat tanpa izin dari
Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya memberikan
izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Kalau Pengadilan Agama
sudah menerima permohonan izin poligami, kemudian ia memriksa berdasarkan Pasal
57 KHI :
a. Ada
atau tidaknya alasan yang memugkinkan seorang suami kawin lagi;
b. Ada
atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan, apabila
persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di
depan sidang pengadilan;
c. Ada
atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hiduo istri-istri dan
anak-anak, dengan memperlihatkan:
1) Surat
keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat
bekerja, atau
2) Surat
keterangan pajak penghasilan, atau
3) Surat
keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Pasal 58 ayat (2) KHI
Dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan
istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan,
tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas
dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
Adapun tata cara teknis
pemeriksaan menurut Pasal 42 PP Nomor 9 Tahun 1975 adlah sebagai berikut:
(1) Dalam
melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus
memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan
pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Apabila terjadi sesuatu
dan lain hal, istri atau istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya atau
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 5 ayat (2) menegaskan:
Persetujuan yang
dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila istri/istri-istrinya tidak mengkin dimintai persetujuannya, dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
istri-istrinya selama sekurang-sekurangnya 2 (dua) tahun atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan
(bandingkan juga dengan Pasal 58 KHI). Namun, bila Pengadilan berpendapat bahwa
cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan
memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal
43 PP Nomor 9 Tahun 1975).
Kalau sang istri tidak
mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu
orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) dan
Pasal 57, Pengadilan Agama dapat
menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan
di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KHI). Apabila keputusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka
menurut ketentuan Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat dilarang
untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal
43 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Ketentuan hukum yang
mengatur tentang pelaksanaan poligami seperti telah diuraikan di atas mengikat semua pihak, pihak yang akan
melangsungkan poligami dan pegawai percatat perkawinan. Apabila mereka
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas, dikenakan sanksi
pidana. Persoalan ini diatur dalam Bab IX Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 :
(1) Kecuali apabila
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
a. Barang
siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat (3), 40
Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya
Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah);
b. Pegawai
Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat
(1), 11, 12, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1)
di atas, merupakan pelanggaran.
Ketentuan hukum
poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin
Pengadilan Agama, setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan
dimaksud, terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah
tangga yang kekal dan abadi atas dasar cinta dan kasih sayang yang diridhai
oleh Allah SWT. Oleh karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan
menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti
dihilangkan atau setidaknya dikurangi.
Status hukum poligami
adalah mubah. Mubah dimaksud, sebagai alternatisf untuk beristri hanya sebatas
4 (empat) orang istri. Hal itu ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai berikut:
a. Beristeri
lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang
isteri.
b. Syarat
utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.
c. Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat 2) tidak mungkin terpenuhi, suami dilarang
beristeri lebih dari satu.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Poligami
adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama
mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Adapun alasan Poligami, pada
dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang
beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh
Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP)
dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57.
Adapun
syarat-syarat poligami, termaktub dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang. Prosedur Poligami. Adapun prosedur poligami menurut Pasal 40
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami
bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan
permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam
Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad Kuzari, nikah
sebagai perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995), hal 159
Al-qamar Hamid, Hukum
Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005),
hal 19
Aisjah Dahlan, Membina
Rumah Tangga Bahagia, Cet 1. (Jakarta: Jamunu, 1969), hal 69
Khoiruddin Nasution,
Riba Dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia, 1996) hal. 84
Fada Abdul Razak
Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta:
Darussalam Offset, 2004) hal. 42-45
Zainuddin Ali, Hukum
Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 47.
No comments:
Post a Comment